Kamis, 10 Oktober 2013

Proses Pertumbuhan Hidup Rohani.



17.  PROSES PERTUMBUHAN HIDUP ROHANI

Pada suatu hari Frater Agung.O,Carm menyarankan agar saya membaca buku, “Puri Batin”, karya Santa Theresia dari Avila, maka saya segera ke toko buku, kemudian membeli dan segera membacanya. Buku “Puri Batin” menceritakan tentang tahap-tahap proses pertumbuhan hidup rohani.
Proses pertumbuhan hidup rohani itu dalam bahasa lain dapat dikatakan sebagai proses mengalahkan ego kita. Dalam buku itu Santa Theresia dari Avila mengungkapkan bahwa setiap manusia harus berjuang untuk mengalahkan egonya masing-masing agar dapat mencintai dan bersatu dengan Allah. Dan perjalanan untuk bersatu dengan Dia diungkapkannya mempunyai level atau tingkatan-tingkatan mulai dari yang kasar kemudian semakin halus-semakin halus, seperti ruangan-ruangan sebuah puri, dari ruangan terluar sampai ruangan yang terdalam. Dimana untuk masuk ke ruangan yang lebih dalam harus melewati banyak pintu dan ruangan, yang dilukiskannya memiliki tujuh level ruangan, sampai akhirnya bila seseorang bisa sampai di ruangan ke tujuh ia akan benar-benar mengalami persatuan dengan Allah Tritunggal Maha Kudus. Namun selama orang itu masih berada di dunia ini, ia pun masih bisa masuk neraka seandainya orang itu dengan sadar dan sengaja menjauhi Allah Tritunggal Maha Kudus, meskipun sudah menikmati buah-buah doa Batin dan tingkatan proses pertumbuhan hidup rohaninya sudah tinggi. Yang harus diingat adalah bahwa pondasi atau dasar untuk bertumbuh dalam hidup rohani adalah kerendahan hati dan kasih yang besar pada sesama. Kalau syarat itu tidak terpenuhi, maka kita tidak akan mungkin bisa bertumbuh. Singkatnya kita menjadi kerdil.
Dan yang perlu diingat adalah bahwa doa dan perbuatan adalah satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Jadi kita tidak boleh melulu berdoa saja tanpa berbuat kasih, sebaliknya kita tidak boleh melulu berbuat kasih saja tanpa berdoa. Kedua-duanya harus berjalan seiring. Untuk memperjelas hal ini, saya akan mengutipkan untuk anda nasehat Santa Theresia dari Avila kepada para suster-susternya, di buku “Puri Batin” berikut ini, namun sebelumnya sebaiknya anda membaca dulu perikop kitab suci di Luk 7:36-50, dan Luk 10:38-42, kemudian baru membaca kutipan di bawah ini:
“Percayalah, Martha dan Maria harus bersama-sama menerima Tuhan di rumah mereka dan menjaga supaya Ia selalu ada bersama mereka, dan jangan menyambut kedatangan-Nya secara tidak sopan dengan tidak menghidangkan makanan apa-apa pun kepada-Nya. Bagaimana mungkin Maria yang duduk di kaki Yesus dapat menghidangkan makanan, andaikata saudarinya tidak membantunya? Usaha kita untuk mendekatkan jiwa-jiwa kepada Tuhan menggunakan pelbagai cara, supaya mereka diselamatkan dan senantiasa memuji Dia. Itulah hidangan bagi Tuhan.
Mungkin kalian memberikan jawaban kepadaku, bahwa Tuhan telah berkata bahwa Maria telah memilih bagian yang terbaik.  Tetapi ketika itu ia sudah menjalankan tugasnya sebagai Martha dan membelai Tuhan dengan mencuci kakinya serta mengeringkannya dengan rambutnya. Apakah menurut pendapatmu bagi seorang nyonya besar seperti dia bukan sesuatu yang hina berjalan melalui jalan-jalan, bahkan mungkin sendirian, karena hatinya begitu berkobar-kobar sehingga ia tidak menyadari perbuatannya? Apakah tidak mungkin bahwa kemudian ia masuk suatu tempat yang belum pernah dimasukinya dan kemudian menanggung cemoohan dari kaum Farisi, atau banyak hal-hal lain lagi? Wanita seperti dia memberi kesaksian tentang perubahan yang demikian di dalam kota! Dan, seperti kita ketahui, di depan mata orang-orang yang begitu jahat! Cukuplah bagi mereka melihat persahabatannya dengan Tuhan untuk membuat mereka membencinya, mengungkit-ungkit kembali masa lampaunya dan sekarang berpura-pura suci. Sebab sudah jelas, Maria segera mengubah pakaian dan lain-lainnya.
Sekarang pun masih begitu, bahkan terhadap orang-orang yang kurang terkenal. Apa lagi zaman dulu itu? Percayalah, para susterku, bagian yang terbaik itu baru dapat diperoleh sesudah banyak percobaan dan penyangkalan. Melihat Sang Guru dibenci saja, bagi dia sudah tidak tertahankan. Betapa hebat gerangan penderitaannya menyaksikan Tuhan wafat? Pada hemat saya, walaupun ia tidak mati sebagai martir, namun melihat Tuhan wafat bagi dia sudah merupakan suatu kemartiran. Dan bertahun-tahun hidup tanpa Dia, pastilah menjadi siksaan yang ngeri baginya. Jadi, kalian mengerti, bahwa ia tidak terus-menerus berada di ruang perjamuan kontemplasi, di kaki Tuhan.
Sekali lagi kuulangi, tidak cukup bahwa pondasi itu hanya terdiri dari doa dan kontemplasi. Tanpa melakukan kebajikan dan tidak berusaha melaksanakannya, kalian akan tetap kerdil. Bagaimana kalian menginginkan supaya Tuhan sudah puas dengan kata-kata saja sedangkan Ia sendiri membuktikan cinta-Nya melalui begitu banyak perbuatan dan penderitaan yang ngeri?”
Seiring proses perjalanan waktu saya juga menjumpai buku “Malam gelap”, karya Santo Yohanes dari Salib. Buku itu juga melukiskan tentang proses pertumbuhan hidup rohani. Dimana dalam buku itu dilukiskan bahwa kita seperti seorang bayi yang diberi minum susu dan makanan yang lembut-lembut, nikmat dan kaya gizi. Namun kemudian akan tiba waktunya dimana Ibu kita menyapih kita, dimana kita tidak lagi menikmati susu asi dan kita mulai dilatih menyantap makanan yang keras-keras. Itulah yang disebut malam gelap. Melalui malam itu kita dibersihkan, disucikan dan dimurnikan. Malam itu berupa kesulitan-kesulitan dan penderitaan-penderitaan. Bila harus saya ulangi dengan lebih jelas adalah apabila kita mulai melangkah ke jalan rohani pertama-tama kita oleh Tuhan akan diberi kemudahan-kemudahan dan kenikmatan-kenikmatan rohani, kemudian semua itu akan dihentikan sehingga kita tidak menjumpai kenikmatan-kenikmatan rohani lagi melainkan justru, kesulitan-kesulitan dan penderitaan-penderitaan rohani yang hebat. Sehingga seolah-olah kita berjalan mundur dan Tuhan meninggalkan kita. Namun apabila kita tetap setia pada Tuhan, kemudian kita akan mengalami kebahagiaan yang luhur, yang hanya dapat dicapai berkat persatuan cinta mesra dengan Tuhan. Segala cacat cela kita yang sangat memalukan dahulu seperti kesombongan, kekikiran rohani, kemesuman, kemarahan, kerakusan rohani, rasa iri hati dan kemalasan rohani pada akhirnya nanti akan diubah menjadi positip, misalnya iri hati untuk mengasihi orang lain secara murni positip. Setelah melewati malam gelap indrawi kita akan masuk ke dalam malam kedua yaitu malam roh, tentu saja apabila Tuhan menghendakinya. Dimana kita akan semakin disempurnakan.
Dari semua itu saya mengambil kesimpulan bahwa semakin berat penderitaan seseorang itu berarti bahwa ia dianggap kuat untuk menanggungnya. Kuat di sini bukan dalam arti sehat tetapi dalam arti setia. Karena kesetiaannya itu ia oleh Tuhan dianugerahi penderitaan yang begitu hebat. Yang disebut malam gelap dan malam roh, agar kemudian setelah itu ia akan mencapai puncak persatuan cinta mesra dengan Allah, yang begitu membahagiakan dan luhur.
Pengalaman Santo Yohanes dari Salib ketika mengalami malam gelap, dituangkannya dalam sebuah puisi yang dikenal dengan sebutan “Madah rohani”, yaitu sebagai berikut:

Madah rohani

Di mana Kau sembunyi,
Kekasih? Aku tertinggal merintih!
Kau lari sebagai rusa
Dan hatiku terluka:
Kukejar, kupanggil Kau yang hilang.

Gembala, jika kamu
Mendaki bukit, lewati kandang ternak
Kebetulan Kau lihat
Kekasihku, katakan:
Aku sengsara, merana, mau mati.
Mencari Kekasihku
Aku naik gunung, menyusuri pantai;
Bunga tidak kupetik
Hewan tak kugetari,
Puri dan batas negeri kuterjang.

Oh hutan dan belukar,
Yang ditanam Kekasihku,
Oh padang subur hijau,
Berwarna ragam bunga,
Katakanlah: Lewat sinikah Dia?

Menyebar keelokan,
Cepat dilewati-Nya padang ini,
Seraya menatapnya,
Dan hanya karena itu
Ditinggalkan-Nya berhias keelokan
Siapakah menyembuhkan?
Sudilah kini menyerahkan Diri.
Jangan utus lagi
Bentara-Mu belaka,
Yang tak mampu penuhi harapanku.

Semua yang hidup bebas
Menjunjung cinta-Mu seribu kali.
Aku semakin terluka,
Hingga aku mau mati
Ku tak tahu apa yang digagapkannya

Ah hidup, bagaimana
Kau dapat menanggung yang bukan hidup.
Panah membawa maut
Kau buat dari api,
Yang dinyalakan cinta Kekasih-Mu.
Hatiku Kau lukai dulu.
Mengapa tidak Kau sembuhkan pula?
Mengapa Kau rampasnya?
Namun toh Kau biarkan,
Tak mau Kau miliki, meski Kau curi?

Padamkanlah nafsuku,
Hanya Engkau dapat memuaskannya.
Aku rindu melihat,
Cahaya sinar mata,
Yang kusimpan, hendak melihat Dikau.

Nyatakan hadirat-Mu.
Semoga aku mati memandang-Mu.
Ingatlah bahwa cinta
Tak habis bersengsara,
Selain bila Engkau hadir memandang.

(Sumber: buku “Santo Yohanes dari Salib, yang disusun oleh H.Pidyarto.O,Carm.)
Perkembangan hidup rohani menurut Para Kudus termasuk Santa Theresia dari Avila dan Santo Yohanes dari Salib, secara garis besar dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
1.      Tahap permulaan atau jalan pembersihan.
2.      Tahap kemajuan atau jalan penerangan, dalam keadaan ini berlangsunglah apa yang disebut pertunangan rohani.
3.      Tahap kesempurnaan atau jalan persatuan, di sini pernikahan rohani dilangsungkan.

Perlu diperhatikan, bahwa pembagian hidup rohani menjadi beberapa tahap atau jalan selalu bersifat artifisial, dibuat-buat. Hidup manusia tidak mudah dibagi dengan tepat. Demikian juga hidup rohaninya tidak dapat dibagi dengan terlalu ketat. Sebabnya tak lain ialah karena hidup itu suatu proses. Tentu ada gejala yang membuktikan, bahwa seseorang masih baru mengangkat kaki di jalan hidup ini; atau bahwa dia sudah maju dan memperoleh suatu kestabilan. Tetapi dari pihak lain jelas juga, bahwa dalam semua tahap terdapat gejala yang mudah digolongkan pada tahap tertentu, bila dinilai menurut pembagian artifisial itu tadi. (Sumber: Buku “Cinta membimbing”, yang disusun oleh Komisi spiritualitas Karmel)

Sebagai penutup Bab I ini, saya ingin mempersembahkan untuk anda, rangkaian kata berikut ini:

Penyerahan
(Santa Theresia dari Avila)

Aku milik-Mu, untuk Dikau aku dilahirkan.
Apa yang Kau kehendaki, agar terjadi dengan aku?
Aku milik-Mu, sebab Engkau menciptakan aku.
Aku milik-Mu, sebab Engkau menebus aku.
Aku milik-Mu, sebab Engkau menanggung aku.
Aku milik-Mu, sebab Engkau memanggil aku.
Aku milik-Mu, sebab Engkau menunggu aku.
Aku milik-Mu, sebab Engkau tidak membiarkan aku binasa.
Apa yang Kau kehendaki, agar terjadi dengan aku?

Aku mohon:
Jika Engkau menghendaki agar aku bersukacita, berilah aku sukacita.
Jika Engkau menghendaki agar aku menderita, aku rela mati menanggung rasa kesakitan.
Katakan di mana, bagaimana dan bilamana.
Katakan itu kepadaku, hai Cintaku, katakanlah!
Apa yang Kau kehendaki, agar terjadi dengan aku?
Ya Tuhan apa yang masih dapat dirasa berat, bila engkau besertaku?
Apa yang tidak berani kami usahakan bagi-Mu, bila Engkau bersatu mesra dengan kami?
Bersama Santo Agustinus aku mohon kepada-Mu:
“Semoga aku mengerjakan apa yang Kau tugaskan kepadaku, dan tugaskanlah kepadaku, apa yang Kau kehendaki.”
Bila dibantu oleh pertolongan dan rahmat-Mu aku tidak akan berpaling dari pada-Mu.
Mulai saat ini aku ingin melupakan diriku dan hanya memperhatikan kehendak-Mu, bagaimana aku dapat mengabdi-Mu.
Aku ingin melaksanakan kehendak-Mu agar kehendak-Mu menjadi kehendakku.
Keinginan hatiku tidak amat kuat, tetapi Engkau berkuasa, Ya Allahku!

Berbahagialah hati, yang penuh cinta hanya memikirkan Allah.
Berbahagialah hati, yang menyangkal makhluk ciptaan demi Tuhan dan mencari kehormatan dan kenikmatannya dalam Tuhan.
Berbahagialah hati, yang sudah tidak bersusah lagi mengenai dirinya, karena seluruh kerinduannya terarah kepada Allah.
Berbahagialah dia, karena dengan tenang dan gembira ia bertahan di tengah-tengah ombak laut, yang bergolak karena angin ribut.

Ya Yesus, siapa dapat melukiskan keuntungan yang kita peroleh, bila menyerahkan diri ke dalam tangan-Mu dan saling berjanji: aku hanya memandang Kekasihku dan Kekasihku hanya memandang aku.
Beliau bergiat untuk kepentinganku dan aku bergiat untuk kepentingan-Nya!
Semoga hanya ini yang kau rindukan: melihat Allah.
Semoga hanya ini yang kau takuti: kehilangan Allah.
Semoga hanya ini menyusahkan hatimu: belum menikmati Allah.
Semoga hanya ini menggembirakan hatimu: Beliau dapat membimbing engkau ke dalam hadirat-Nya, dan di situ engkau akan hidup penuh damai.

(Sumber: buku “Santa Theresia dari Avila, Hidup dan Karya”, yang diterbitkan oleh Dioma).

2 komentar: