Selasa, 27 Desember 2011

ULTAH KE-34


ULTAH KE-34

Pada waktu usiaku tepat 34 tahun, yaitu pada tanggal 6 Maret 2010, aku sengaja merayakan hari ulang tahunku itu dengan mengundang beberapa teman-teman. Yang datang pada waktu itu adalah 10 orang, dan kurayakan di rumah Pak Mikael.
Aku sengaja merayakannya karena aku membaca dalam Kitab Suci bahwa Tuhan Yesus Kristus meninggal pada usia 33 tahun kemudian bangkit. Aku berharap bahwa diriku yang lama telah mati dan mulai usia ke-34 dan seterusnya aku bangkit dalam segala hal. Aku berharap sembuh dari sakit jiwa dan lebih berjiwa Fight dalam menghadapi tantangan hidup. Singkatnya lebih dewasa dan menjadi manusia yang utuh.
Pada waktu tepat hari ultahku itu, ada sedikit keajaiban yaitu tulisan di handphoneku yang seharusnya bertuliskan nama provider tetapi justru bertuliskan: “Percaya saja”, hal itu semakin meneguhkan aku agar: “Jangan takut”, melainkan: “Percaya saja”, pada Tuhan Yesus Kristus.
Pada waktu menulis artikel ini, aku sedang merencanakan akan menikah dengan pacarku: Yuliana Winarni, pada bulan Februari tahun 2011.












SELAMAT JALAN AYAH


SELAMAT JALAN AYAH

            Ayahku bernama Achilles Slamet Raharjo. Pada hari selasa, tanggal 10 Nopember 2009, jam 07.45, aku ditelepon kakak dan ibuku yang mengabarkan bahwa ayah telah meninggal dunia pada jam 07.00 pagi. Ibu mengatakan bahwa ayah akan dimakamkan pada hari itu juga jam 14.00. Beliau mengatakan bahwa bila aku pulang ke Jakarta maka aku pasti sudah tidak bertemu ayah lagi, karena ayah akan dimakamkan pada hari itu juga. Meskipun begitu aku memutuskan bahwa aku harus segera pulang ke Jakarta. Aku pulang dengan naik kereta api Matarmaja yang berangkat jam 15.00 dari stasiun Kota Baru, Malang, dan dijadwalkan sampai di stasiun Pasar Senen, Jakarta pada jam 09.15 pagi.
            Sepanjang perjalanan kakak dan adik-adikku berpesan agar aku hati-hati dan tidak terburu-buru. Di dalam kereta api aku menjumpai ada tempat duduk untuk tiga orang yang masih kosong, hal itu terus berlanjut sampai stasiun Pasar Senen, sehingga aku bisa duduk dan tidur dengan leluasa. Hal ini belum pernah aku alami sebelumnya, selama aku sering naik kereta api. Seolah-olah ayah menemani aku selama dalam perjalanan.
Dalam perjalanan aku teringat bahwa pada liburan hari raya Idul Fitri tahun sebelumnya ayah sudah pamitan padaku, pada waktu itu beliau membacakan padaku sebuah perikop ayat kitab suci perjanjian baru yang berjudul: “Perumpamaan tentang orang-orang upahan di kebun anggur”, yaitu diambil dari Mat 20:1-16, yaitu sebagai berikut:
“Adapun hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang tuan rumah yang pagi-pagi benar keluar mencari pekerja-pekerja untuk kebun anggurnya. Setelah ia sepakat dengan pekerja-pekerja itu mengenai upah sedinar sehari, ia menyuruh mereka ke kebun anggurnya. Kira-kira pukul sembilan pagi ia keluar pula dan dilihatnya ada lagi orang-orang lain menganggur di pasar. Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku dan apa yang pantas akan kuberikan kepadamu. Dan mereka pun pergi. Kira-kira pukul dua belas dan pukul tiga petang ia keluar pula dan melakukan sama seperti tadi. Kira-kira pukul lima petang ia keluar lagi dan mendapati orang-orang lain pula, lalu katanya kepada mereka: Mengapa kamu menganggur saja di sini sepanjang hari? Kata mereka kepadanya: Karena tidak ada orang mengupah kami. Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku. Ketika hari malam tuan itu berkata kepada mandurnya: Panggilah pekerja-pekerja itu dan bayarkan upah mereka, mulai dengan mereka yang masuk terakhir hingga mereka yang masuk terdahulu. Maka datanglah mereka yang mulai bekerja kira-kira pukul lima dan mereka menerima masing-masing satu dinar. Kemudian datanglah mereka yang masuk terdahulu, sangkanya akan mendapat lebih banyak, tetapi mereka pun menerima masing-masing satu dinar juga. Ketika mereka menerimanya, mereka bersungut-sungut kepada tuan itu, katanya: Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam dan engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung panas terik matahari. Tetapi tuan itu menjawab seorang dari mereka: Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari? Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu. Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau karena aku murah hati? Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir.”
Menurut ayah perumpamaan ini menyatakan bahwa Tuhan itu murah hati dan semua orang dikasihi oleh Tuhan termasuk aku, jadi aku tidak boleh minder.
Kemudian setelah itu ayah mengungkapkan keinginannya bahwa apabila beliau meninggal, beliau tidak ingin menyusahkan orang lain atau dalam keadaan diinfus-infus atau menjadi bunga tempat tidur, beliau ingin meninggal dalam keadaan tenang. Dan cita-cita ayah ini terkabul.
Kira-kira jam 11.00 pagi tibalah kereta api yang aku tumpangi di stasiun Pasar Senen, Jakarta. Disitu sudah menunggu pacarku yang bernama Yuliana Winarni. Kemudian kami sama-sama pulang ke rumahku di Jakarta.
Sesampai di rumah aku segera mandi setelah itu aku diajak makan oleh Ibuku. Saudara-saudaraku mengatakan bahwa Ibu sudah tidak makan seharian sebelumnya, tetapi begitu aku datang Ibu mengajak dan menemani aku makan.
Pada malam harinya kami satu keluarga berkumpul, yaitu: ketujuh saudara kandungku, istri kakakku, suami adikku dan keponakan-keponakanku.
Pada waktu itu adik laki-lakiku bercerita bahwa sebelum meninggal ayah telah berpesan kepadanya agar apabila beliau meninggal, beliau ingin dimakamkan di Pondok Rangon. Dan sesuai permintaan ayah semua itu dikabulkan. Dan ternyata apa yang diinginkan ayah yang beliau katakan padaku juga diungkapkan pada adik laki-lakiku itu. Kemudian ia bercerita bahwa sebelum meninggal ayah mengucapkan terimakasih kepadanya, yang kemudian oleh adikkku itu dijabarkan bahwa ayah mengucapkan banyak terimakasih pada Ibu, semua anak-anaknya dan pada semua orang yang telah membantunya selama beliau masih hidup sampai saat pemakamannya dan sampai selamanya.
Kemudian kakakku mengatakan bahwa ayah meninggal dengan sempurna karena ayah sebelum meninggal pada hari minggu sudah menerima Komuni Kudus kemudian hari seninnya menerima sakramen perminyakan dan sakramen pengakuan dosa setelah itu hari selasa pagi meninggal dunia. Kemudian beliau mengatakan bahwa pada tanggal satu Nopember adalah hari raya semua orang kudus lalu tanggal dua Nopember adalah hari peringatan arwah semua orang beriman. Menurut  kakakku yang adalah seorang Koster menyatakan bahwa menurut kepercayaan agama Katolik apabila kita berdoa bagi orang yang sudah meninggal mulai tanggal dua Nopember hingga tanggal sepuluh Nopember maka orang yang kita doakan itu akan mendapat indulgensi penuh yang artinya diampuni dosa-dosanya selama ia hidup di dunia ini. Dan ayah rajin berdoa dalam ujud ini sampai tanggal sepuluh Nopember. Jadi menurut kakakku ayah meninggal dengan sempurna.
Kemudian ibu bercerita bahwa sebenarnya pada malam selasa itu sebenarnya ayah sudah dipanggil Tuhan, tetapi beliau menunggu hingga pagi tiba, agar tidak menyusahkan ibu dan anak-anaknya serta orang-orang lain.
Pada hari kamis duabelas Nopember aku dan adik laki-lakiku mengunjungi makam ayah, menabur bunga dan berdoa. Pada waktu akan pulang kami pamitan pada ayah, ketika itulah telinga kiriku mendengar suara yang berbicara dalam bahasa yang tidak kukenal, menurut teman-teman persekutuan doa karismatikku, bahwa itu adalah bahasa roh. Mungkinkah itu bahasa roh? Suara itu mengatakan hal yang sama sebanyak tiga kali. Adikkku laki-laki menjabarkan bahwa pada waktu itu ayah memberi pesan pada kami semua melalui aku. Yang oleh adikku diterjemahkan secara berbeda-beda menurut keadaan kami masing-masing, misalnya untuk aku agar aku menjaga kesehatan dengan baik, rajin bekerja dan tidak putus asa.
Selama hidup aku mengenal ayah sebagai orang yang rajin berdoa. Memang ayah tidak pandai mencari uang dan bercanda dengan anak-anaknya, tetapi ayah sangat dekat dengan kami. Beliau mendoakan kami setiap hari. Hal yang berkesan bila mengingat ayah adalah beliau rajin bangun pagi, suka mengalah dan yang paling bermakna adalah perjuangannya mengatasi penyakitnya. Adapun ayah mulai sejak aku kecil sampai usiaku kini 33 tahun, ayah selalu sakit-sakitan, pada waktu aku masih duduk di bangku SD, ayah terkena penyakit kuning dan beri-beri serta sering batuk-batuk, sakit kepala dan masuk angin, pada tahun 2002 ayah mengalami pembesaran kelenjar prostat lalu dioperasi kemudian setelah itu ayah menderita penyakit Diabetes militus atau kencing manis, yang karena penyakitnya semakin parah maka terjadilah komplikasi, beliau menderita penyakit jantung, paru-paru, hipertensi, dan kolesterol. Tetapi menghadapi itu semua ayah tidak putus asa, beliau rajin ikut therapi dan berolahraga pagi. Selamat jalan ayah.

KECELAKAAN


KECELAKAAN

Aku mengenal orang baik, yang mengalami kecelakaan sepeda motor yaitu temanku Evi dan Klara. Pada waktu itu mereka mengikuti latihan koor untuk lomba antar Paroki mewakili Paroki Santa Maria tak bernoda, Lawang. Latihan koor diadakan pada malam hari, tetapi dalam perjalanan pulang mereka ditabrak oleh sepeda motor yang dikendarai oleh dua orang pria yang melarikan diri dari kejaran penjaga counter handphone, karena dua orang pria itu mencuri handphone. Dalam kecelakaan itu teman saya Evi mengalami luka-luka parah kemudian dibawa ke RSU. Dr.Saiful Anwar, Malang dan akhirnya meninggal dunia. Sedangkan Klara kaki sebelah kirinya patah. Namun puji Tuhan ia tidak diamputasi. Kakinya dioperasi hingga akhirnya ia masih bisa berjalan lagi.
            Hal yang kulihat adalah Tuhan memberi pertolongan kepada kedua orang temanku ini melalui tangan orang-orang yang peduli kepada mereka. Banyak orang yang mendoakan mereka, muda-mudi Katolik Lawang sibuk memberikan pertolongan dengan segenap hati seperti mencari dan mengumpulkan dana, dengan membagi kolekte kedua dan mengamen di depan Gereja. Bahkan ada yang menyesal tidak bisa menyumbang darahnya karena golongan darahnya berbeda dengan golongan darah Evi.
            Pada waktu hari pemakaman Evi tepat dihari minggu dimana kelompok koor mereka berlomba. Para anggota koor mengikuti lomba kemudian setelah itu mereka menghantar Evi ke peristirahatan terakhir. Pada waktu itu kelompok koor itu menyumbangkan lagu koor mereka di depan peti jenasah Evi sebelum dimasukkan ke liang lahat. Lagu yang mereka nyanyikan berjudul “Lau Date” dan “Salurkan rahmat Tuhan.”  Lagu itu dibawakan dengan sangat syahdu, diiringi linangan airmata dan isak tangis. Banyak orang yang merasa kehilangan terutama seluruh anggota koor dan muda-mudi Katolik Lawang, termasuk juga aku. Hal yang selalu aku ingat bila teringat Evi adalah senyumnya yang tulus.
            Setelah Emil dikuburkan beberapa anggota koor itu menjenguk Klara di RSU. Dr.Saiful Anwar. Setiap hari ada saja orang yang peduli dan menjenguknya di Rumah Sakit. Pada waktu kecelakaan terjadi mereka berboncengan dengan sepeda motor Vespa. Klara di depan sedangkan Evi di belakang. Pada waktu kecelakaan terjadi, Klara terpental dan masuk selokan. Orang-orang yang menolong tidak melihat Klara karena pada waktu itu malam hari dan gelap, baru kira-kira satu jam kemudian orang-orang mencari dan menemukan Klara dan mereka membawanya juga ke RSU. Dr.Saiful Anwar.
            Setelah dioperasi dan diperbolehkan pulang, Klara menggunakan kursi roda dan dua alat penyangga. Yang sangat aku kagumi darinya adalah semangatnya untuk tetap dapat berjalan. Ia mematuhi saran dokternya untuk sering melatih kakinya untuk berjalan.
            Kadang-kadang pada hari minggu, Mas Toto menjemput Klara dengan mobil dan menghantarnya ke Gereja. Setelah misa kudus selesai banyak orang yang peduli, menyapa dan menjabat tangannya. Dan walaupun ia belum sembuh benar, ia tidak kapok, ia tetap ikut kegiatan muda-muda Katolik Lawang. Karena kekuatan mentalnya inilah ia berhasil sembuh lebih cepat dari apa yang diperkirakan dokter. Klara adalah contoh figur yang patut diteladani dalam menghadapi penderitaan.


GUNUNG PANDERMAN


GUNUNG PANDERMAN

            Pada waktu aku menjadi anggota Legio Maria, mahasiswa, di Malang, aku jatuh cinta pada seorang gadis bernama Nancy. Aku sering menelepon dia dan berusaha meraih hatinya dengan segala cara.
            Pada suatu hari kelompok Legio Maria kami merencanakan untuk pergi ke gunung Bromo. Pada hari yang telah ditetapkan kami berkumpul bersama, kira-kira jam 18.30. Tetapi rencana berubah, berganti tujuan ke gunung Panderman. Maka kami menyewa satu mobil mikrolet, pada waktu itu jumlah kami 17 orang, jadi kami saling berhimpitan.
Kami tiba di lereng gunung kira-kira jam 21.00. tanpa membuang-buang waktu kami segera mendaki. Pada waktu itu suasananya gerimis, sangat dingin dan sangat gelap. Perlahan-lahan kami mendaki dengan penerangan senter. Maklumlah mendaki gunung, perjalanannya sulit dan cukup menguras tenaga walaupun gunung Panderman termasuk rendah.
            Pada waktu itulah aku merasakan rasa cemburu yang amat sangat karena Nancy selalu dituntun dan digandeng oleh teman laki-lakinya. Hatiku benar-benar terbakar hingga hangus menjadi abu. Setelah lama mendaki akhirnya teman-teman wanitaku sudah tidak mampu melanjutkan pendakian lagi. Mereka berhenti di suatu tempat penuh bebatuan, dan di situ kami memutuskan untuk membuat api unggun. Maka kami mengumpulkan ranting-ranting kayu. Mungkin karena energi rasa cemburu yang besar itu maka aku mampu mematahkan ranting-ranting kayu besar hanya dengan  tangan kosong. Pada waktu itu aku sangat tidak tahan melihat pemandangan di depan mataku, maka ketika salah satu temanku yang bernama Albert mengajakku mendaki hingga puncak maka aku segera menurutinya.
            Kami mendaki dengan susah payah. Keadaanku dipersulit karena pada waktu itu aku memakai sepatu tentara yang kesempitan, jari-jari kakiku benar-benar terasa amat sakit. Namun akhirnya kami berhasil mencapai puncak.
            Ternyata di puncak ada sangat banyak orang laki-laki dan perempuan yang berkemah, dan mereka semua berdiang di depan api unggun. Pada waktu itu Albert mengajakku mendekati salah satu rombongan api unggun. Mereka menyambut kami dengan sangat ramah dan menawarkan singkong bakar. Lalu kami terlibat dalam obrolan yang hangat. Setelah malam semakin larut Albert mengajakku turun ke rombongan kami.
            Setiba di tempat rombongan kami berada aku kembali bertemu dengan Nancy dan teman prianya. Hatiku kembali dibakar api cemburu. Aku sangat tidak tahan menyaksikan itu semua, maka aku menyelinap di antara bebatuan dan menyendiri sambil berusaha untuk tidur walaupun udara terasa sangat dingin sekali.
            Beberapa lama kemudian kami didatangi oleh seorang pendaki yang meminta bantuan karena salah satu temannya sakit. Maka aku, Albert, Yono dan beberapa teman yang lain mengikuti orang itu dan kami mendapati temannya tergeletak dalam keadaan lemas tidak berdaya. Maka kami berusaha menolong dengan mengoleskan balsem, memberi air minum dan membantu menghidupkan api unggun mereka yang padam, sedangkan Yono berusaha menyembuhkan orang yang sakit itu dengan tenaga dalam. Setelah itu Yono bercerita padaku bahwa orang yang sakit itu telah dirasuki oleh penunggu gunung Panderman, tetapi dengan bantuan Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria ia telah berhasil menyembuhkannya.
            Kemudian kami kembali ke rombongan kami. Pada waktu itu aku kembali merasakan rasa cemburu yang amat sangat, lalu aku kembali menyelinap di antara bebatuan dan berusaha untuk tidur, namun pikiran dan perasaanku mengembara kesana-kemari hingga pagi tiba.
            Kami memulai hari dengan berdoa pagi, dipimpin oleh salah seorang Frater Projo Malang. Setelah itu dilanjutkan dengan acara foto bersama. Pada acara foto itu selain foto bersama, aku juga foto sendirian, pada waktu foto itu aku mengekspresikan rasa sangat marah dan cemburuku dengan cara berdiri di atas batu besar, memegang payung dan menuding dengan telunjuk jari kanan ke arah sang juru foto.
            Kemudian setelah itu kami memutuskan untuk turun gunung. Pada waktu turun ternyata cukup sulit juga karena ada bahaya terpeleset. Pada waktu itulah Nancy kembali dituntun dan digandeng oleh teman laki-lakinya. Aku kembali dibakar api cemburu yang amat sangat hingga rasanya aku ingin mati saja.
            Setelah lama menuruni gunung akhirnya kami sampai di lereng kira-kira jam 11 pagi, kemudian kami menunggu mobil mikrolet yang sudah kami sewa sebelumnya. Beberapa menit kemudian mobil itu datang menjemput kami, maka kami segera naik dan pulang. Sesampai di rumah aku segera mandi, ganti baju, makan kemudian tidur.