Senin, 23 September 2013

Penderitaan.



17.  PENDERITAAN

Pada suatu hari seorang teman saya berkata pada saya bahwa hidup baginya adalah menjalani penderitaan dengan tabah sampai titik darah penghabisan, seorang teman saya yang lain mengungkapkan bahwa hidup adalah penderitaan sedangkan kenikmatan adalah godaan. Lama saya merenungkan kata-kata mereka dan dari kesaksian hidup saya, saya menjumpai bahwa  pernyataan mereka berdua adalah benar.
Pada umumnya orang tidak menyukai penderitaan tetapi anehnya ketika saya membaca kisah-kisah beberapa orang kudus, saya menemukan bahwa mereka sangat merindukan penderitaan dan bila diberi pilihan oleh Tuhan mereka lebih memilih menderita. Dan penderitaan mereka itu mereka persembahkan pada Tuhan dengan penuh cinta. Tentu saja mereka tidak mengalami gangguan seksual yang bernama Masokist.

A.  Asal penderitaan

            Kita semua pernah menderita, dan mungkin sekarang ada diantara anda yang sedang mengalami penderitaan berat. Ciri utama penderitaan adalah adanya rasa sakit, entah sakit hati, sakit badan, atau sakit jiwa. Menurut saya asal penderitaan itu ada tiga yaitu:

1.      Berasal dari diri kita sendiri.
2.      Berasal dari Tuhan.
3.      Berasal dari ketidaksempurnaan ciptaan Tuhan.

Agar lebih jelasnya marilah kita lihat satu-persatu:

1. Berasal dari diri kita sendiri

Penderitaan yang berasal dari diri kita sendiri adalah penderitaan yang merupakan konsekwensi dari perbuatan buruk dan perbuatan baik kita:

a.  Sebagai konsekwensi perbuatan buruk kita

            Adalah pederitaan-penderitaan yang diakibatkan perbuatan-perbuatan buruk dan kebiasaan-kebiasaan buruk kita contohnya: sakit paru-paru karena kebanyakan merokok, sakit jiwa karena mengkonsumsi narkoba dan minum-minuman keras secara berlebihan, nilai sekolah buruk karena malas belajar, tidak punya uang karena malas bekerja, dipenjara karena melakukan perbuatan kriminal, kecelakaan lalu lintas karena kita ugal-ugalan di jalan dan lain-lain.

b.  Sebagai konsekwensi perbuatan baik kita

            Adalah penderitaan-penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatan-perbuatan baik kita dalam rangka berusaha melakukan perintah dan kehendak Tuhan. Misalnya: mengasihi sesama, membela HAM, membela kebenaran dan keadilan, setia pada pasangan hidup berumah tangga dan lain-lain, contoh konkretnya adalah: Seorang ibu sedang sakit demam tetapi begitu tahu anaknya sakit ia membawa anaknya itu ke Puskesmas, Munir seorang tokoh pembela HAM dibunuh di pesawat, seorang pengacara diancam akan dibunuh ketika sedang membela perkara orang yang benar, seorang suami atau istri berusaha menahan diri dan mengendalikan diri agar tidak selingkuh, dan dapat juga sebagai suatu doa persembahan, yaitu bila kita secara sengaja melakukan hal-hal baik yang oleh karena itu kita menderita dan penderitaan-penderitaan kita itu kita persembahkan pada Tuhan bagi orang-orang yang kita doakan, untuk lebih jelasnya lihat kembali waktu pembahasan tentang doa persembahan.
            Berkaitan dengan pembahasan ini, ada baiknya saya cantumkan perikop ayat kitab suci di 1 Ptr 2:19-21, untuk anda renungkan, yaitu: “Adalah kasih karunia, jika seseorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung. Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa? Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah. Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya.”

2.  Berasal dari Tuhan

            Harus kita akui bahwa semua orang pernah menderita dan sedikit banyak akan mengalami penderitaan lagi selama ia masih hidup di dunia ini, baik orang baik maupun orang jahat, orang benar maupun orang berdosa, baik orang yang rendah hati maupun orang yang sombong. Penderitaan yang berasal dari Tuhan dapat mengambil berbagai macam bentuk dan sebab, yang hanya bisa dilihat melalui kacamata iman, misalnya penderitaan–penderitaan karena kelahiran atau keturunan. Menurut saya itu adalah penderitaan yang berasal dari Tuhan. Dasarnya dalam kitab suci adalah pada Yoh 9:1-3 yang akan saya kutip berikut ini:

Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Murid-muridnya bertanya kepada-Nya: ”Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Jawab Yesus: ”Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.

Menurut saya tujuan Tuhan menghadirkan mereka adalah untuk mengajarkan manusia bagaimana mengasihi orang-orang yang menderita. Dengan memperlakukan orang-orang yang menderita dengan penuh kasih sebenarnya secara konkret kita telah menjadi sarana terciptanya kerajaan Allah di dunia ini, karena kerajaan Allah adalah suatu kerajaan dimana Allah meraja, karena Allah adalah kasih (1Yoh 4:8 dan 16) maka kerajaan Allah adalah suatu kerajaan dimana kasih meraja. Ibu Theresia dari Kalkuta, mempunyai sebuah pengalaman hidup yang menarik untuk kita, yang saya kutip dari buku “Kekasih Allah”, karangan Lukas Batmomolin,SVD, berikut ini:

“Aku akan selalu mengingat waktu terakhir aku berkunjung ke Venezuela di Amerika Selatan. Sebuah keluarga kaya telah memberikan tanah kepada para suster untuk membangun panti anak-anak, karenanya aku pergi ke sana untuk berterimakasih kepada mereka. Di dalam keluarga itu aku menemukan putra bungsu mereka menderita cacat yang parah. Aku bertanya pada ibunya: siapa nama anak itu? Si ibu menjawab: “Profesor Cinta, karena anak ini sepanjang waktu mengajarkan kepada kami bagaimana mengekspresikan cinta dalam sebuah tindakan.” Ada sebuah senyum yang manis di wajah ibu itu. “Profesor Cinta”, mereka memanggil anak mereka yang begitu menderita, begitu ternoda” (Ibid.240).

Dengan hadirnya orang-orang yang menderita karena kelahiran atau keturunan menurut saya juga merupakan salah satu cara Tuhan untuk mengajar kita bersyukur.
            Anda boleh percaya boleh tidak, seorang perawat anak-anak cacat di Bhakti Luhur yang kebanyakan karena kelahiran atau keturunan mengungkapkan pada saya bahwa anak-anak cacat itu pada umumnya merasa damai dan tidak minder padahal mereka mengalami cacat yang luarbiasa seperti tidak punya kaki, tidak punya tangan, buta, bisu, tuli atau lainnya. Kenyataan ini sungguh mengherankan saya.
            Pada waktu saya ikut retret “Maria” di Tumpang, salah seorang Suster Putri Karmel mengungkapkan bahwa kita tidak mungkin bisa memahami sepenuhnya jalan pemikiran Tuhan dan kehendak-Nya. Namun yakinlah bahwa kehendak Tuhan itu baik buat kita walaupun kadang terasa sangat menyakitkan, misalnya anak-anak yang terlahir cacat, secara duniawi hal itu terlihat sebagai suatu sial, rendah dan merupakan suatu beban tetapi menurut Suster itu, bisa jadi bahwa pahala mereka sangat besar, jauh lebih besar dari orang-orang normal di Sorga nanti.

4.      Berasal dari ketidaksempurnaan ciptaan Allah

a.  Ketidaksempurnaan tubuh dan jiwa manusia

            Harus diakui bahwa manusia diciptakan tidak sempurna. Manusia adalah citra Allah tetapi tidak sesempurna Allah. Secara jasmaniah dan rohaniah manusia tidak sempurna. Bisa mengalami sakit, mulai sakit flu, batuk, kanker, gangguan prostat, flu burung sampai AIDS, dan dapat mengalami stres dan sakit jiwa. Ilmu kedokteran hanya membantu tubuh dan jiwa manusia untuk mengatasi kerusakkan dan disintegrasi. Jadi tubuh dan jiwa itu sendirilah yang bertumbuh dan menyembuhkan dirinya, selebihnya ilmu kedokteran tidak bisa berbuat apa-apa. Bila seseorang sakit untuk bisa sembuh rumusnya adalah Stamina tubuh +Rahmat Tuhan. Ada hal-hal tertentu di luar kontrol ilmu kedokteran, yaitu pertumbuhan sel dan Rahmat Tuhan. Singkatnya ilmu kedokteran hanya bisa memfasilitasi dan memprediksi tetapi tidak bisa memberi kepastian. Ilmu kedokteran sama sekali tidak mampu membuat tubuh dan jiwa manusia menjadi sempurna sehingga 100% kebal penyakit.
            Sifat alamiah tubuh dan jiwa manusia mempunyai hukum-hukum dan batas-batasnya yang bila dilanggar akan mengakibatkan sakit atau meninggal misalnya: minum-minuman keras dan merokok menyebabkan penyakit, bunuh diri dapat mati, overdosis narkoba dapat menyebabkan kematian, kecelakaan dapat mengakibatkan luka-luka; cacat dan kematian. Selain itu stres yang melebihi daya tahan maksimal jiwa manusia dapat menyebabkan gangguan jiwa bahkan stroke dan kematian.

b.  Ketidaksempurnaan alam

            Seperti kita ketahui bahwa alam berproses, berkembang dan berubah kian waktu. Dan alam mempunyai hukum-hukumnya sendiri. Alam adalah pemandangan yang indah dan menakjubkan tetapi juga dapat menyebabkan bencana yang dahsyat misalnya gempa bumi, tsunami, tanah longsor, gunung meletus, angin topan, angin tornado, hujan badai dan lain-lain. Dan semua itu dapat menimpa setiap orang tanpa pilih kasih baik orang baik maupun orang jahat, orang benar maupun orang berdosa, orang yang rendah hati maupun orang yang sombong. Namun walau bagaimanapun juga dalam setiap penderitaan kita tetap dapat menghadap Tuhan untuk memohon pertolongan, kekuatan, ketabahan dan penghiburan dari-Nya. Dan kita tidak perlu merasa dikhianati Tuhan atau dihukum Tuhan. Yang kita lakukan dalam setiap penderitaan, sebaiknya adalah tetap bersatu dengan Tuhan dan mengasihi sesama walaupun betapa beratnya penderitaan kita.
            Kita tidak mungkin memahami sepenuhnya apa maksud Tuhan dan kadang-kadang kita merasa Tuhan mengutuk dan tidak mengasihi kita, misalnya: Gempa bumi danTsunami di Aceh dan Nias pada akhir tahun 2004 dan awal tahun 2005, beberapa orang melihat hal itu sebagai suatu kutukan dan hukuman  Tuhan, beberapa orang lain melihat sebagai bencana murni, namun salah satu Suster Putri Karmel ketika saya retret berpendapat bahwa hal itu kemungkinan besar juga suatu rahmat dari Tuhan karena orang-orang yang meninggal itu sebelum meninggal dalam kondisi kritis mereka mungkin menyeru-nyerukan nama Tuhan, sehingga mereka meninggal dalam nama Tuhan, dan dengan demikian masuk Sorga. Kalau tidak langsung masuk Sorga ya di Api pencucian dulu, namun dengan harapan pasti bahwa cepat atau lambat akan masuk Sorga.

A.    Makna penderitaan.

Menurut saya semua penderitaan itu memiliki makna, asal kita bisa memaknainya. Namun makna penderitaan yang menimpa orang baik, benar dan rendah hati berbeda dengan makna penderitaan yang menimpa orang jahat, berdosa dan sombong. Untuk lebih jelasnya akan saya uraikan sebagai berikut:

1.      Makna penderitaan yang menimpa orang-orang baik,  benar dan rendah hati

Sebelum membahas hal ini lebih lanjut, saya ingin menceritakan tentang Santa Theresia dari Avila. Dalam segala suka dan duka beliau tetap penuh lelucon yang berbobot dan tetap penuh damai. Terutama ia tetap bersukacita, sumber kebahagiaan sejati, yang begitu mudah menular kepada orang lain. Misalnya: sebagai Ibu pendiri banyak biara, Santa Theresia sering menempuh jalan-jalan yang amat buruk, misalnya sungai Arlanzon mengancam kereta mereka karena banjir. Santa Theresia meloncat ke luar dan terluka. Ia berseru: “Tuhan, di tengah-tengah segala bencana ini kami harus mengalami kecelakaan ini juga!” Tetapi Tuhan Yesus menjawab: “Theresia, beginilah aku memperlakukan sahabat-sahabat-Ku!” Ya Tuhan, karena itu jumlah sahabat-Mu sedikit sekali!” sahut Santa Theresia. Kemudian pada kesempatan yang lain, pernah ia katakan: “Theresia yang membawa tiga dukat itu bukan apa-apa! Tetapi Theresia yang membawa tiga dukat, bersama dengan Yesus, itu berarti bahwa semuanya beres!. (Sumber: buku “Santa Theresia dari Avila, Hidup dan Karya”, yang diterbitkan oleh Dioma).
Kemudian dalam buku “Santo Yohanes dari Salib”, yang disusun oleh Romo H.Pidyarto.O,Carm, Santa Theresia dari Avila mengungkapkan: “Tuhan memperlakukan para sahabat-Nya dengan begitu ngeri, meskipun Dia tidak berbuat jahat kepada mereka, sebab ia berbuat demikian juga kepada Putera-Nya sendiri.”
            Penderitaan-penderitaan yang menimpa orang-orang baik, benar dan rendah hati bermakna sebagai cara Tuhan untuk membentuk kita menjadi lebih baik. Dapat diumpamakan Tuhan seperti seorang pandai emas yang menempa kita menjadi emas murni, atau dapat diibaratkan Tuhan seperti sorang pengukir yang mengukir kita menjadi suatu bentuk karya seni yang unik dan mahal harganya, atau dapat diumpamakan Tuhan seperti seorang pembuat benda-benda dari tanah liat yang membentuk kita menjadi bejana, guci atau benda-benda seni yang berharga tinggi. Memang sewaktu Tuhan membentuk kita, akan terasa sangat menyakitkan tetapi hasil baik akan tampak kemudian. Melalui penderitaan itu kita bertumbuh dan berkembang menjadi lebih baik.
            Namun sayangnya tidak semua orang berpikir seperti ini, ada orang tertentu yang justru bereaksi negatif  yaitu dengan mengalami penderitaan ia merasa Tuhan tidak ada, kemudian ia menjauhi Tuhan, berpikir buat apa terus berbuat baik dan benar, dan menutup diri bagi sesama. Bagi orang seperti ini penderitaan itu merupakan kutukan dan bukan rahmat.
            Sebenarnya Tuhan tidak membiarkan orang-orang baik, benar dan rendah hati menderita sendirian. Ia menyalurkan pertolongannya melalui orang-orang tertentu hingga akhirnya sampai kepadanya, misalnya: Ia menggerakkan orang-orang tertentu untuk menyumbang dana, membantu berupa tenaga, waktu dan lain sebagainya.
            Saya mengenal orang yang baik, benar dan rendah hati yang mengalami kecelakaan sepeda motor yaitu teman saya Emil dan Kharis. Pada waktu itu mereka mengikuti latihan koor untuk lomba antar Paroki mewakili Paroki Santa Maria tak bernoda, Lawang. Latihan koor diadakan pada malam hari, tetapi dalam perjalanan pulang mereka ditabrak oleh sepeda motor yang dikendarai oleh dua orang pria yang melarikan diri dari kejaran penjaga counter handphone, karena dua orang pria itu mencuri handphone. Dalam kecelakaan itu teman saya Emil mengalami luka-luka parah kemudian dibawa ke RSU. Dr.Saiful Anwar, Malang dan akhirnya meninggal dunia. Sedangkan Kharis kaki sebelah kirinya patah. Namun puji Tuhan ia tidak diamputasi. Kakinya dioperasi hingga akhirnya ia masih bisa berjalan lagi.
            Hal yang saya lihat adalah Tuhan memberi pertolongan kepada kedua orang teman saya ini melalui tangan orang-orang yang peduli kepada mereka. Banyak orang yang mendoakan mereka, muda-mudi Katolik Lawang sibuk memberikan pertolongan dengan segenap hati seperti mencari dan mengumpulkan dana, dengan membagi kolekte kedua dan mengamen di depan Gereja. Bahkan ada yang menyesal tidak bisa menyumbang darahnya karena golongan darahnya berbeda dengan golongan darah Emil.
            Pada waktu hari meninggalnya Emil tepat dihari minggu dimana kelompok koor mereka berlomba. Para anggota koor mengikuti lomba kemudian setelah itu mereka menghantar Emil ke peristirahatan terakhir. Pada waktu itu kelompok koor itu menyumbangkan lagu koor mereka di depan peti jenasah Emil sebelum dimasukkan ke liang lahat. Lagu yang mereka nyanyikan berjudul “Lau Date” dan “Salurkan rahmat Tuhan.”  Lagu itu dibawakan dengan sangat syahdu diiringi linangan airmata dan isak tangis. Banyak orang yang merasa kehilangan terutama seluruh anggota koor dan muda-mudi Katolik Lawang termasuk juga saya. Hal yang selalu saya ingat bila teringat Emil adalah senyumnya yang tulus.
            Setelah Emil dikuburkan beberapa anggota koor itu menjenguk Kharis di RSU. Dr.Saiful Anwar. Setiap hari ada saja orang yang peduli dan menjenguk Kharis di Rumah sakit. Pada waktu kecelakaan terjadi mereka berboncengan dengan sepeda motor Vespa. Kharis di depan sedangkan Emil di belakang. Pada waktu kecelakaan terjadi, Kharis terpental dan masuk selokan. Orang-orang yang menolong tidak melihat Kharis karena pada waktu itu malam hari dan gelap, baru kira-kira satu jam kemudian orang-orang mencari dan menemukan Kharis dan mereka membawanya juga ke RSU. Dr.Saiful Anwar.
            Setelah dioperasi dan diperbolehkan pulang, Kharis menggunakan kursi roda dan dua alat penyangga. Yang saya sangat kagumi dari Kharis adalah semangatnya untuk tetap dapat berjalan. Ia mematuhi saran dokternya untuk sering melatih kakinya untuk berjalan.
            Kadang-kadang pada hari minggu, Mas Tatang menjemput Kharis dengan mobil dan menghantarnya ke Gereja. Setelah misa kudus selesai banyak orang yang peduli, menyapa dan menjabat tangannya. Dan walaupun ia belum sembuh benar, ia tidak kapok, ia tetap ikut kegiatan muda-muda Katolik Lawang. Karena kekuatan mentalnya inilah ia berhasil sembuh lebih cepat dari apa yang diperkirakan dokter. Kharis adalah contoh figur yang patut diteladani dalam menghadapi penderitaan.
            Saya juga mengenal seorang pengusaha yang bernama Pak Handoko, ketika bisnisnya mengalami krisis ia mengatakan pada saya: ”Badai dan hujan benar-benar hebat dan kencang sehingga membuat saya harus masuk dan berlindung di Rumah Bapa.” Karena krisis itu ia menjadi rajin pergi mengikuti misa kudus di Gereja dan mengajak saya untuk ikut retret di Pertapaan Karmel, Ngadireso, Tumpang.  Kemudian ia semakin mendekatkan diri pada Tuhan dengan menimba ilmu rohani kepada seorang biarawan yang bernama Frater Agung.O,Carm, yang ia istilahkan dengan “Saya sedang meguru.” Kemudian ia pun berlangganan buku renungan harian dan rajin ikut doa Lectio divina setiap dua minggu sekali di biara Karmel “Johannes a Sancto Samsone” Jalan Talang no 5, Malang. Padahal rumahnya di Surabaya dan doa Lectio divina itu dimulai jam 17.30 sampai dengan jam 19.30 malam. Ia merupakan juga salah satu figur yang patut dicontoh dalam menghadapi penderitaan. Bagi dia penderitaan itu menjadi rahmat dan berkat.
            Seorang Romo dalam kotbahnya pada waktu misa kudus yang saya ikuti juga mengungkapkan tentang seseorang yang dapat mengambil hikmah dari penderitaan sehingga penderitaan itu menjadi rahmat baginya, dimana orang ini adalah salah satu korban bencana gempa bumi di Yogyakarta dan sekitarnya pada bulan Mei tahun 2006. Setelah gempa itu ia menyadari betapa dahsyat dan ajaib kebesaran dan kemahakuasaan Tuhan, ia mendapati bahwa segala harta benda yang ia kumpulkan seperti Mobil, Sepeda motor, rumah dan segala isinya adalah tidak berarti lebih tepatnya sia-sia karena semua itu hancur rata dengan tanah, dan ia menjadi sadar bahwa kekayaan yang patut dihargai adalah relasi kasih yang baik dengan Tuhan, sesama dan alam.
            Frater Agung.O,Carm sewaktu doa Lectio divina pernah mengungkapkan bahwa hampir mustahil seseorang dapat percaya dan mencintai Tuhan bila semuanya selalu berjalan mulus, selalu sehat, selalu bisa, selalu sukses, tanpa kesulitan dan penderitaan sedikitpun. Penderitaan berguna untuk membantu perkembangan iman seseorang. Dengan adanya penderitaan seseorang terdorong untuk berserah dan bergantung pada Tuhan. Apalagi bila sudah terpojok/mentok dan tidak ada alasan untuk berharap lagi selain kepada Tuhan.

2.      Makna penderitaan yang menimpa orang-orang jahat, dan sombong

            Penderitaan-penderitaan yang menimpa orang-orang jahat dan sombong bermakna mendidik, mengajar dan memberi peringatan.  Itu bukan kutukan dan hukuman tetapi rahmat dan berkat. Itu adalah salah satu bentuk cara Tuhan untuk mengasihi manusia agar dengan demikian manusia menjadi rendah hati dan bertobat. Memang rasa sakit sangat efektif, untuk membuat orang menjadi rendah hati dan bertobat. Penderitaan semacam itu dapat dikatakan sebagai “Tamparan Tuhan.” Dasarnya dalam kitab suci adalah pada Ibr 12:5-13 dan Wah 3:17-19, yang sudah saya lampirkan pada waktu pembahasan tentang rendah hati.
            Apakah anda ingin tahu seberapa besar harga kerendahan hati dan pertobatan di mata Tuhan? Sejujurnya harus saya ungkapkan, karena amat besarnya cintakasih Tuhan pada manusia, agar manusia rendah hati dan bertobat sehingga tidak masuk neraka, Ia tega membunuh bahkan membantai atau memusnahkan ribuan orang. Apalagi orang, sedang anak tunggal-Nya sendiri yang amat dikasihi-Nya pun tidak ia sayangkan, melainkan ia jadikan korban persembahan bagi keselamatan seluruh umat manusia.
            Sebagai bagian akhir pembahasan ini, sekarang saya akan mempersembahkan untuk anda doa Beato Titus Brandsma, berikut ini:

Doa Beato Titus Brandsma
( Di muka gambar Yesus dalam
sel penjara Scheveningen
12 – 13 Februari 1942 )

O Yesus, bila ku pandang wajahmu,
ku terkenang akan kasihku untuk-Mu,
pun pula kasih hati-Mu akan daku,
bahkan sebagai teman akrab-Mu.

Meski harus tabah menderita.
ah, segala sengsara tak mengapa,
sebab aku makin serupa dengan-Mu,
dan, itulah jalan menuju Kerajaan-Mu.

Aku bahagia dalam derita.
Yang tak ku pandang sebagai musibah,
melainkan sebagai anugerah mulia.
Yang menyatukanku dengan-Mu, ya Allah.

Ah, biarlah aku seorang diri,
walaupun hawa sekitar dingin sekali.
Tak perlu aku dijenguk di sini,
tak jemu aku tinggal seorang diri.

Sebab Engkau, O Yesus, besertaku.
Tak pernah aku sedekat ini pada-Mu.
Tinggal, tinggallah padaku, Yesusku.
Beserta-Mu, baiklah keadaanku

BertobatLah.



BERTOBATLAH

            Pada suatu hari seorang Romo dalam kotbahnya bercerita bahwa pernah ada seorang anak kecil masuk kamar pengakuan untuk mengaku dosa kepadanya tetapi sesampai di kamar pengakuan anak itu hanya diam saja, beberapa lama kemudian anak itu menangis tersedu-sedu, ketika ditanya kenapa?, ia menjawab: “Romo…..saya tidak punya dosa….”
Apakah difinisi dosa menurut anda? Entah apa pendapat anda saya kurang tahu, karena setiap orang dapat membuat difinisi yang berbeda-beda. Tetapi menurut ilmu Teologi secara garis besar difinisi dosa adalah setiap pemikiran, perasaan, perkataan, sikap dan perbuatan yang tidak berkenan pada Allah yang dilakukan dengan sadar, tahu dan mau, baik secara sengaja maupun lalai. Kalau Frater Agung mengungkapkan bahwa dosa adalah setiap pemikiran, perasaan, perkataan, sikap dan perbuatan yang mementingkan aku, aku, aku dan aku tanpa mempedulikan Tuhan dan sesama atau dengan kata lain dosa adalah menuruti ego. Sedangkan saya secara pribadi mempunyai difinisi yang dangkal berdasarkan pengalaman saya yang dangkal bahwa menurut saya dosa adalah setiap pemikiran, perasaan, perkataan, sikap atau perbuatan yang menghasilkan rasa nikmat tapi dilarang oleh agama, contohnya adalah membicarakan orang lain alias ngerumpi, serakah, korupsi, berzinah dalam hati, bermain sek dengan gadis-gadis abg pelacur, minum-minuman keras, menghisap shabu-shabu dan lain-lain.
            Dalam perundingan program nuklir Korea utara, seorang diplomat Amerika Serikat mengungkapkan bahwa berbicara itu mudah tetapi mendengarkan itu sulit. Kemudian Mas Pardi, teman kerja saya pernah mengungkapkan pada saya bahwa berbicara itu mudah tetapi melakukan itu sulit. Berdasarkan pengalaman hidup saya, kedua pernyataan tersebut adalah benar. Kadang kita sulit mendengarkan permohonan, nasehat, teguran dan kritikkan. Dan kadang kita suka menasehati orang tetapi kesaksian hidup tersembunyi kita sendiri begitu buruk.
            Apa yang anda lakukan bila di hadapan anda ada kesempatan dan fasilitas untuk memperoleh dan memuaskan rasa nikmat? Misalnya anda mempunyai uang yang berkelimpahan, anda juga punya waktu, dan anda masih cukup muda, kemudian di hadapan anda ada gadis-gadis abg yang cantik dan menggairahkan yang siap dipakai kapan saja? Atau anda seoarang pimpinan yang memegang kendali uang, yang dengan mudah dapat membuat alasan mengada-ada untuk korupsi dalam jumlah besar tanpa ketahuan? Atau anda seorang pengusaha atau bisnisman yang punya banyak uang dan tahu betapa nikmatnya pesta sek, minum-minuman keras, dan shabu-shabu yang mengeluarkan uang lima atau sepuluh juta semalam bukan masalah buat anda? Atau anda wanita kaya yang kesepian dan punya banyak waktu dan kesempatan? Atau anda seseorang yang melarat namun punya nafsu sek yang menggebu-gebu dan sering ditawari minuman keras dan narkoba secara gratis? Atau anda seseorang yang kere namun punya imajinasi dan nafsu liar yang butuh dipuaskan dan punya banyak kesempatan untuk menghalalkan segala cara? Atau anda gadis abg yang kesepian, ingin hiburan dan kebebasan  dan anda tahu bahwa cewek boleh masuk diskotik dan café secara gratis pada hari-hari ladies night. Saya yakin sebagian besar dari anda akan mengiyakan godaan itu dan menurutinya. Bahkan mungkin anda begitu asyik dan bersemangat sehingga ketika suara Tuhan mengetuk hati anda, anda akan berpikir: ”Ah… menunggu puas berbuat dosa dulu, baru bertobat.” Ketika kata-kata ini saya diskusikan dengan seorang biarawan tua dari negeri Belanda yang tidak mau namanya disebutkan, ia mengungkapkan bahwa pemikiran seperti itu adalah tidak baik, orang seperti itu tidak mempunyai cinta akan Tuhan sedikit pun. Yang ada adalah takut kelak akan dihukum.  Menurutnya cinta akan Tuhan membahagiakan sedangkan ketakutan menggelisahkan. Orang seperti itu terus berbuat dosa karena egois, mau bertobat kemudian karena takut masuk neraka. Jadi bila saya ungkapkan dengan bahasa saya, setiap perbuatan baik atau pertobatan itu biasanya mempunyai dua alasan yang melatar belakangi. Yang pertama adalah perbuatan baik atau pertobatan itu didasari secara murni semata-mata karena cinta pada Tuhan, kemudian yang kedua dilakukan hanya karena takut kelak masuk neraka. Alasan yang tepat adalah yang pertama yaitu secara murni semata-mata karena cinta pada Tuhan.
            Dalam kitab suci diungkapkan bahwa, ”Roh memang penurut tetapi daging lemah” (Mat 26:41). Itu artinya adalah tidak mudah bagi seseorang untuk bertobat dan mengorbankan diri demi cinta pada Tuhan, dengan jalan meninggalkan segala kenikmatan yang seharusnya ia rasakan bila berada di lembah dosa. Bagi orang-orang seperti ini dunia memberi julukkan, ”Orang-orang bodoh dan sial.” Tetapi justru orang-orang yang seperti inilah yang berkenan pada Allah.
            Satu-satunya hal terbaik bagi orang yang berpikir:  ”Menunggu puas berbuat dosa dulu baru bertobat” adalah mengambil keputusan bulat untuk mengatakan ”Stop”, dan melaksanakan pertobatan itu dalam praktek nyata, tanpa banyak berpikir. Dengan demikian mengakhiri semua perbuatan dosa itu, sehingga dirinya terselamatkan. Langkah awal konkret sebagai wujud pertobatan itu adalah dengan mengaku dosa, dan mengakukan semua dosa kita itu secara jujur dan total, tanpa menutup-nutupi dosa seberat apa pun atau sangat memalukan seperti apa pun juga. Kemudian setelah itu kita menjaga kesucian hati kita.
            Sekali lagi harus saya katakan, bahwa cara bertobat adalah jangan banyak berpikir dan segera mengaku dosa, karena di dalam peperangan melawan kenikmatan, apabila anda banyak berpikir dan memperhitungkan untung-ruginya, anda pasti tidak akan pernah menang. Jadi segeralah mengaku dosa dan jadilah murni tak bercela, sederhana dan tanpa prasangka serta lihatlah sisi baik dalam setiap perkara.
            Mustinya pembahasan ini berhenti di sini, namun ada baiknyalah kita lanjutkan. Anda pasti pernah mendengar sebuah peribahasa yang berbunyi: ”Sepandai-pandai tupai melompat pada akhirnya jatuh juga.” Anda pasti tahu apa maknanya, yaitu bahwa setiap perbuatan buruk pada akhirnya akan ketahuan atau kena batunya, walaupun sang pelaku sangat sabar dan cerdik dalam melakukan dan menutupi aksinya. Mensikapi hal itu seorang pendosa yang ulung dan professional mempunyai kelebihan dari pendosa biasa yaitu ia tahu kapan sebaiknya ia berhenti. Karena bila diteruskan ia hanya akan menuai bencana. Walaupun sesungguhnya berhenti berbuat dosa karena takut hukuman adalah kurang baik bila dibandingkan dengan berhenti berbuat dosa murni semata-mata karena cinta pada Tuhan, namun hal itu sudah merupakan nilai plus bila dibandingkan seorang pendosa yang tidak pernah bertobat sama sekali. Karena dengan demikian kerugian yang ditimbulkan pada dirinya sendiri dan orang lain dapat dihentikan.
            Ketika saya dan teman-teman saya menemui Frater Agung.O,Carm, salah satu teman saya mengungkapkan bahwa dirinya sangat menikmati hidup di lembah dosa dan belum berniat untuk berhenti. Diluar dugaan saya, Frater Agung.O,Caram, justru memberi nasehat dengan suara lembut: ”Puas-puasin dulu  saja.” Ketika saya bertanya pada beliau tentang apa maknanya ia menjawab bahwa biasanya seseorang belum bisa berhenti berbuat dosa bila belum mencapai kepuasan, titik jenuh atau terkena batunya. Yang sesungguhnya kepuasan itu tidak pernah akan ada, yang ada adalah kesenangan sementara. Setelah itu kembali dilanda kehausan dan kelaparan yang bila dituruti hanya akan menyengsarakan diri kita.
            Alangkah baiknya bila seorang pendosa bertobat sebelum ia mencapai kepuasan, titik jenuh atau terkena batunya, walaupun sesungguhnya ia tidak merugikan orang lain, misalnya selingkuh atas dasar suka sama suka, pesta sek bersama gadis-gadis abg dengan uang hasil keringatnya sendiri, membeli minuman keras dan sabu-sabu dengan uang hasil jerih payahnya sendiri secara halal, dan lain-lain.
            Berhenti berbuat dosa atau bertobat adalah sebuah pengorbanan; pengorbanan untuk tidak menikmati lagi segala kenikmatan yang seharusnya ia rasakan seandainya terus berbuat dosa. Seperti yang telah saya ungkapkan pengorbanan ini dapat ditujukan untuk Tuhan yaitu atas dasar murni semata-mata karena cinta pada Tuhan atau dapat ditujukan untuk dirinya sendiri yaitu bertobat karena takut dirinya kelak dihukum. Sebenarnya hal terakhir ini lebih jauh hanyalah bentuk pemuasan ego yaitu bertobat demi kesenangan dan kepuasan aku. Namun sudah termasuk kemajuan dan patut dihargai karena hal ini pun tidak mudah. Dapat diibaratkan seseorang yang sedang berpuasa sedangkan disekelilingnya ada segala macam jenis makanan dan minuman yang sedap dan  lezat.
Bertobat selain merupakan pengorbanan juga merupakan keajaiban. Disebut keajaiban karena setiap orang punya dimensi sosial, dimana dirinya dapat ikut menyelamatkan atau menjerumuskan orang-orang di sekitarnya; seperti anggota keluarga, teman, sahabat, kenalan, ataupun orang-orang yang secara kebetulan melihatnya. Saya rasa kitab suci pun mengatakan demikian:

“Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita di Sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih daripada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.” (Luk 15:7).

“Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat.” (Luk 15:10)

“Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.” (Luk 15:32).

Hal yang paling penting agar bertobat adalah ada atau tidak adanya niat dari dalam diri. Bila seseorang tidak mempunyai niat bertobat maka segala macam nasehat baik adalah tidak berguna dan segala macam teguran, kritikkan, dan ancaman hanya menciptakan kebencian, permusuhan dan balas dendam bahkan perkelahian. Sebenarnya niat untuk bertobat dapat ditumbuhkan secara perlahan-lahan misalnya dengan menjadi anggota persekutuan doa seperti Lectio divina, Karmelit awam, Karismatik atau Legio Maria dan rajin membaca Kitab suci, mengikuti Misa kudus, menerima Sakramen pengakuan dosa atau bergaul dengan orang-orang saleh. Namun semuanya pada akhirnya tetap kembali pada sang pendosa sendiri apakah ia mau disadarkan atau tidak, mau diselamatkan atau tidak, mau kembali berjalan dijalan yang benar atau tidak, mau datang kepada terang atau tidak.
            Pada suatu hari saya berbincang-bincang dengan teman saya tentang dosa dan segala kenikmatan yang menyertainya serta pertobatan disisi lainnya. Dia adalah seorang pebisnis yang cukup sukses dan sudah tahu persis aral melintang dan asam garamnya lembah dosa karena ia suka minum-minuman keras, suka menghisap shabu-shabu, suka main judi dan suka membooking cewek-cewek cantik kelas lima jutaan sekali booking belum termasuk uang tipnya. Bisa dikatakan dia sudah merasakan apa yang disebut “Puas”, oleh sebab itulah menurut saya sepatah dua patah kata yang keluar dari mulutnya patut kita pertimbangkan bobotnya. Terus terang selama ini dia sedang berusaha dan berjuang keras untuk bertobat dan menghentikan semua aktifitas yang menghasilkan rasa nikmat namun dilarang itu. Namun secara jujur ia mengatakan pada saya bahwa amat sangat sulit. Kebanyakkan orang pandai berteori tetapi pada praktekknya tidak semudah itu. Bila seseorang menunggu puas dahulu baru bertobat maka hampir dapat dipastikan dia tidak pernah akan bertobat karena ketika dia sudah mencapai titik puas disitu juga dia sudah mencapai titik parah dan amat sangat sulit jadinya untuk bertobat. Memang diantara jeda hidupnya dia kadang-kadang jenuh atau bosan juga kemudian berhenti beberapa saat tetapi setelah beberapa lama kemudian ia ingin mengulangi hal itu lagi karena di dunia yang serba sementara dan tidak sempurna ini sesuatu yang mengagumkan, terasa indah dan memukau, ketika didekati dan dimiliki ternyata cuma sederhana dalam istilah Jawa, ”Tibae gor nggletek!” Namun anehnya ketika seseorang jenuh berbuat dosa dan mulai bertekad untuk bertobat, beberapa saat kemudian ia merasakan luapan menggebu-nggebu untuk mengulangi lagi hal yang “Nggletek” itu.
            Jadi secara singkat dapat dikatakan jangan menunggu puas dulu baru bertobat karena ketika anda sudah puas disitu juga anda mencapai titik kesulitan berat untuk bertobat. Lebih jelasnya mencapai taraf sudah puas tetapi tidak bisa lepas untuk bisa lepas memerlukan keajaiban, dan keajaiban itu adalah rahmat.

 










Saya ingin mengumpamakan bahwa situasi pendosa yang saya utarakan tadi adalah ibaratnya sebuah kertas kosong dimana di dalam kertas itu terdapat sebuah lingkaran kosong, yang kita perlukan hanyalah memberi satu titik tepat di tengah lingkaran itu. Yang saya maksudkan adalah bahwa pada suatu saat ketika kita berjuang keras untuk bertobat, kita akan menjumpai suatu kehampaan, tidak ada greget, niat atau tekad yang kuat atau kata-kata,” Ya mulai detik ini saya bertobat.” Seakan-akan semuanya diserahkan pada diri kita, berubah atau tidak, bertobat atau tidak. Seolah-olah kita memegang kontrol sepenuhnya akan situasi diri kita itu. Dan memberi sebuah titik berarti bertekad bulat 100% penuh untuk berubah, untuk bertobat. Santa Theresia dari Lisieux mengungkapkan hal yang senada dalam buku ”Renungan Santa Theresia dari Kanak-Kanak Yesus”, yang diterbitkan oleh Dioma:

”Yesus menghendaki cintakasih kita, yang sekarang ku mintakan. Semuanya seakan-akan diserahkan kepada kita. Ia tidak mau menerima apa-apa, kalau bukan kita yang memberikannya; yang terkecilpun sangat berharga di mata Ilahi.”

“Andaikan Yesus mau menunjukkan kepada semua jiwa karunia-Nya yang tak terkatakan, pasti tidak ada satu pun yang menolaknya. Tetapi ia tidak menghendaki kita mencintai-Nya karena pemberian-Nya. Dia sendirilah yang harus merupakan pahala kita.”

“Kadang-kadang kita tersergap menginginkan hal-hal yang menarik karena kilaunya. Pada saat-saat yang demikian itu marilah kita langsung menggolongkan diri dengan rendah hati pada rombongan orang yang tidak sempurna dan melihat diri sebagai jiwa-jiwa kecil yang setiap saat memerlukan dipapah oleh Allah yang mahabaik. Begitu kita sadar akan ketidak mampuan kita, Ia mengulurkan tangan-Nya.”

“Apabila Yesus memanggil suatu jiwa untuk membina, untuk menyelamatkan banyak jiwa lainnya, perlulah Ia membuatnya menghadapi godaan dan percobaan hidup.”

Kemudian Santa Theresia dari Avila dalam bukunya yang berjudul “Puri Batin”, mengungkapkan bahwa setan yang amat licik di balik selubung sesuatu yang baik, melalui hal-hal kecil, lambat laun menjauhkan jiwa dari Tuhan, dengan membisikkan bahwa hal itu tidak jahat, mengaburkan budi, melemahkan kehendak, menumbuhkan cinta diri,  perlahan-lahan setan menjauhkan jiwa dari kehendak Allah serta berhasil membujuknya untuk melakukan kehendak setan. Tidak ada klausura yang cukup ketat yang tidak dapat dimasuki setan. Tidak ada padang gurun yang terlalu terpencil sehingga tidak didatanginya. Dan rupanya, Tuhan membiarkan hal ini untuk menguji sikap jiwa yang dipanggil-Nya untuk menerangi orang lain. Sebab, jika mereka nyata tidak layak, lebih baik hal ini terjadi pada waktu permulaan dari pada kemudian merugikan banyak orang.
            Sekarang saya ingin mengajak anda untuk  merenungkan dua perikop teks kitab suci berikut ini:

Kebijaksanaan Tuhan


“Tetapi kamu berkata: Tindakan Tuhan tidak tepat! Dengarlah dulu, hai kaum Israel, apakah tindakan–Ku yang tidak tepat ataukah tindakanmu yang tidak tepat? Kalau orang benar berbalik dari kebenarannya dan melakukan kecurangan sehingga ia mati, ia harus mati karena kecurangan yang dilakukannya. Sebaliknya, kalau orang fasik bertobat dari kefasikkan yang dilakukannya dan ia melakukan keadilan dan kebenaran, ia akan menyelamatkan nyawanya. Ia insaf dan bertobat dari segala durhaka yang dibuatnya, ia pasti hidup, ia tidak akan mati.” (Yeh 18:25-28).

Perumpamaan tentang dua orang anak


            “Tetapi apakah pendapatmu tentang ini: Seorang mempunyai dua anak laki-laki, Ia pergi kepada anak yang sulung dan berkata: Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur. Jawab anak itu: Baik, bapa. Tetapi ia tidak pergi. Lalu orang itu pergi kepada anak yang kedua dan berkata demikian juga. Dan anak itu menjawab: Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi. Siapakah diantara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?” Jawab mereka: ”Yang terakhir.” Kata Yesus kepada mereka: ”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam kerajaan Allah. Sebab Yohanes datang untuk menunjukkan jalan kebenaran kepadamu, dan kamu tidak percaya kepadanya. Tetapi pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal percaya kepadanya. Dan meskipun kamu melihatnya, tetapi kemudian kamu tidak menyesal dan kamu tidak juga percaya kepadanya.” (Mat 21:28-32).

            Kemudian sekarang izinkanlah saya mempersembahkan kepada anda kata hati saya dahulu, berikut ini:

Tekad


Tekad oh tekad dimanakah engkau?
Mengapa engkau menyembunyikan diri dariku?
Padahal sudah sekian lama,
aku telah berjuang mencari engkau.
Mengapa aku senang berkata, ”Ya” pada kebaikan,
namun tidak melakukannya.
Mengapa kemudian aku menyesal,
tetapi tetap melakukannya.
Seakan-akan tidak bisa lepas dari dosa.
Mengapa sekarang segala sesuatunya,
engkau serahkan padaku?
Mengapa hatiku hampa?
Tidak ada bisikkan atau keyakinan,
yang menjadi titik tolak untuk berkata:
“Ya mulai detik ini aku bertobat.”
Mungkin aku merasa rugi,
karena melihat kenikmatan begitu besar,
yang seharusnya aku rasakan, bila berbuat dosa.
Sebenarnya aku lebih senang bila engkau memberi aku niat,
tetapi justru engkau memberi kebebasan padaku.
Dan aku harus membuat titik dalam kehampaan ini.
Mampukah aku?
Sekarang aku tak mau memperhitungkan untung-rugi lagi.
Biarlah aku rugi.
Biarlah aku tidak menikmati semua kenikmatan itu lagi.
Aku mau bertobat meskipun diejek bodoh dan sial.
Sekarang aku mengerti pertobatan adalah:
merupakan suatu pengorbanan.
Tuhan kalau boleh aku ingin mempersembahkan
segala kenikmatan yang seharusnya kurasakan itu padamu.
Tuhan sekarang aku mengucapkan:
selamat tinggal pada diriku yang lama,
dan aku membuka lembaran baru,
hidup suci murni di hadapan-Mu.
Biarlah aku menolak segala keinginan
untuk memuaskan egoku.
Asalkan aku berkenan pada-Mu.
Asalkan aku benar-benar mencintai-Mu.
Karena kini aku tahu:
“Mencintai-Mu adalah segalanya bagiku.”

            Alangkah indahnya bila kita berhasil menghentikan semua perbuatan dosa kita dan bertobat, sehingga pada waktu meninggal kita dapat mengatakan seperti yang tertulis dalam 2 Tim 4:7 “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman”
            Menurut saya untuk dapat bertobat seseorang memerlukan rahmat Tuhan 100% dan usaha dirinya sendiri 100% pula. Sekarang saya ingin bertanya pada anda: ”Sudahkah anda berusaha 100%? Walaupun bertobat itu sulit, tetapi saya yakin bahwa kita bisa asalkan kita mau 100%.
            Setelah kita membuat keputusan untuk bertobat selanjutnya tidaklah menjadi mudah. Itu baru langkah awal. Setelah itu anda justru semakin digoda berupa bisikan-bisikan atau ingatan-ingatan dan harapan-harapan tentang betapa nikmatnya dosa, dan menawarkan pada kita kemungkinan-kemungkinan atau hal-hal yang belum pernah dirasakan dan mengatakan pada kita: ”Sangat sayang bila dilewatkan.” Namun kuatkanlah hati anda dan jadikanlah kata-kata berikut ini menjadi milik anda:

“Aku telah mengalahkan dunia.”

“Aku telah mengalahkan ego.”

            Apabila anda kenali dalam-dalam sebenarnya berbuat dosa itu bukan hanya menghasilkan rasa nikmat saja melainkan juga penderitaan fisik dan batin kita, yang dapat mengakibatkan kita sakit jiwa atau kumat. Dan sesungguhnya penderitaannya jauh lebih besar daripada rasa nikmat yang dihasilkannya, karena rasa nikmat itu hanyalah bagaikan lintasan bayangan yang berkelebat, namun setelah itu hilang. Bisa dikatakan kenikmatan itu hanyalah imajinasi sementara, sedangkan yang menjadi fakta adalah penderitaannya dan akibatnya kita rasakan cukup lama bahkan kekal.
            Sekarang saya ingin mengungkapkan bahwa bertobat itu bukan masalah perasaan tetapi masalah perbuatan. Santa Theresia dari Lisieux dalam otobiografinya yang berjudul “Aku percaya akan cinta kasih Allah”, mengungkapkan:

“Meskipun tidak mempunyai kegembiraan iman, namun aku berusaha sekuat tenaga melaksanakannya dalam perbuatan.”

Semua teori yang saya ungkapkan di atas itu tadi adalah kurang berguna karena yang lebih berguna adalah praktek nyata, seperti yang diungkapakan oleh Santa Theresia dari Lisieux, dalam buku “Renungan Santa Theresia dari Kanak-Kanak Yesus”, berikut ini:

“Aku tidak merendahkan gagasan-gagasan luhur yang mengisi jiwa dan menyatukannya dengan Tuhan, tetapi sejak lama aku mengerti bahwa tidak perlu menyandarkan diri padanya atau pun mengartikan kesempurnaan sebagai menerima banyak cahaya. Gagasan-gagasan yang paling indah bukan apa-apa tanpa pekerjaan.”

            Berbuat dosa tidak akan pernah bisa dipuaskan oleh sebab itu jangan menunggu puas berbuat dosa dulu baru bertobat. Sekali lagi saya ingin mengungkapkan  bahwa puas berbuat dosa itu tidak pernah akan ada yang ada adalah puas pada saat itu, jadi puas sementara, setelah itu kembali kelaparan dan kehausan. Seandainya anda benar-benar mengejar kepuasan berbuat dosa dulu baru bertobat, dan seandainya apa yang disebut puas itu memang benar-benar ada, berbahagialah anda karena anda bertobat, sebelum anda merasakan kepuasan. Seperti halnya Tuhan Yesus berkata pada Tomas: ”Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (Yoh 20:29).
            Sebenarnya banyak keuntungan yang dapat kita peroleh atau akan kita peroleh seandainya kita bertobat, baik keuntungan secara materi maupun keuntungan secara rohani. Sebaliknya banyak kerugian yang kita terima atau akan kita terima, apabila kita tidak bertobat, karena cepat atau lambat kita akan terkena batunya. Oleh sebab itu adalah sangat baik apabila kita bertobat dengan tujuan agar bisa hidup mulia.
            Saya pernah dinasehati oleh Dokter Gitohoesodo bahwa bila saya ingin bertobat dan  meninggalkan trauma masa lalu, saya harus belajar dari kisah Kitab suci tentang Sodom dan Gomora yang ada di Kej 19:1-29, dimana di ayat 17 Tuhan melalui seorang malaikat berkata kepada Lot, isteri dan anaknya: “Larilah, selamatkanlah nyawamu; janganlah menoleh ke belakang, dan janganlah berhenti di mana pun juga di lembah Yordan, larilah ke pegunungan, supaya engkau jangan mati lenyap”. Tetapi pada ayat 26 diceritakan bahwa isteri Lot yang berjalan mengikuti Lot, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam.  Tuhan Yesus dalam Luk 9:62, juga mengungkapkan hal yang senada, yaitu: “Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah.” Dan Santo Paulus dalam Flp 3:13-14 mengungkapkan: “Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.” Artinya bila kita ingin bertobat kita harus melupakan dan meninggalkan masa lalu kita, dan jangan mengingat-ingat lagi, melainkan terus maju menyatukan diri kita dengan Tuhan. Kalau anda memerlukan figur yang dapat dijadikan teladan untuk bertobat, belajarlah pada Santo Paulus, Santa Maria Magdalena, Santo Agustinus. Anda dapat menemukannya di buku-buku riwayat orang-orang Kudus.
Dan ingatlah bahwa roh jahat juga mengenal Tuhan Yesus ( Mrk 1:24, Mrk 1:34, Mrk 5:7 ), roh jahat juga menyembah Tuhan Yesus ( Mrk 5:6 ) dan roh jahat juga jatuh tersungkur dihadapan Tuhan Yesus ( Mrk 3:11) tetapi yang jelas mereka tidak melakukan perintah-perintah-Nya. Bukan orang yang menyebut Tuhan-Tuhan yang akan diselamatkan melainkan setiap orang yang melakukan perintah-perintah-Nya (Mat 7:21), dengan demikian menjadi serupa dengan Dia.    
Sekarang saya ingin mengajak anda untuk memahami bahwa inti dosa adalah menuruti ego atau menuruti bisikan untuk memuaskan cinta diri, dan itu dapat mengambil banyak bentuk dalam hal-hal kecil dan sederhana dan dapat berupa hal-hal yang kelihatannya positip seperti berdoa, atau memberi sumbangan, misalnya berdoa sampai melantur, berdoa tanpa mempedulikan pekerjaan, berdoa tanpa mempedulikan kesehatan sosial, berdoa agar dianggap orang baik,  memberi sumbangan demi popularitas, memberi sumbangan pada orang yang cantik atau tampan saja dan lain-lain. Hanya kita sendiri yang tahu persis apa motivasi sebenarnya dibalik perbuatan baik kita; murni untuk Tuhan atau hanya sekedar memuaskan ego kita. Bertobat berarti menyangkal keinginan cinta diri kita, dan itu menyakitkan tetapi jauh di lubuk hati kita, kita akan merasa bahagia. Sebenarnya setiap orang dapat bertobat dan menjadi Santo-Santa bila ia memang mau karena kriterianya bukanlah hal yang muluk-muluk dan melambung di angkasa melainkan bagaimana mengabdi Tuhan lewat hal-hal kecil dan sederhana dan bagaimana kita menghayatinya. Saya pernah membaca tulisan di bagian sampul belakang buku: ”Novena dan Doa-doa suci”, yang berbunyi:

Mengapa ada Santo dan Santa?
Karena mereka gembira,
jika sulit untuk bergembira;
mereka sabar,
jika sulit untuk bersabar;
dan karena mereka terus maju,
kalau mereka ingin berhenti;
dan mereka diam,
jika mereka ingin berbicara;
dan mereka ramah,
jika mereka mau marah.
Hanya itu.
Itu sangat sederhana
dan akan tetap demikian.

            Ketika membaca buku yang berjudul, “Percaya cinta percaya keajaiban”, karya Gede Prama, Gede Prama mengatakan bahwa ia punya hobi melayat, karena ini adalah kelas pelatihan kehidupan yang tidak bisa ditandingi oleh kelas pelatihan lainnya. Kalau kelas pelatihan pada umumnya, hanya mengundang refleksi sebagian orang, di depan orang meninggal hampir semua orang berefleksi.
            Pada suatu hari oleh temannya, Gede Prama dikirimi sebuah cerita yang sangat reflektif melalui E-mail, ia sangat bersyukur kepada Tuhan karena menerimanya. Cerita itu adalah sebagai berikut:
Konon, di suatu waktu ada seorang kaya raya yang memiliki empat istri. Di depan gerbang kematian, ia diberi kesempatan untuk mengajak hanya salah satu dari empat isterinya.
            Pertama-tama ia panggil isterinya yang keempat. Maklum, ini yang paling muda, paling cantik, paling menawan, paling disayang, sekaligus menguras paling banyak uang. Dengan nada suara yang mengundang rasa kasihan, orang kaya yang sudah renta ini bertanya: “Maukah engkau menemani aku sampai ke alam kematian?” Seperti disambar petir rasanya, ketika orang tua ini mendengar jawaban ketus isterinya yang keempat: “Ndak.”
            Kecewa dengan isterinya yang keempat, ia pun memanggil isteri yang ketiga. Bisa dimaklumi, karena ini adalah isteri ranking kedua dalam banyak hal. Belajar dari kegagalan sebelumnya, ia pun bertanya sambil memeluk mesra isteri ketiga: “Sudikah kamu menjadi pendampingku memasuki gerbang kematian?”, Yang ini jawabannya lebih sopan: “Maafkan kanda, saya hanya bisa mengantarmu sampai di sini.”
            Menangis mengakhiri pengalaman kedua ini, ia pun tidak putus asa. Dipanggilah isteri yang kedua, tentu saja dengan pertanyaan dan permintaan yang sama. Isteri kedua ini menjawab lembut: “Saya akan antar kanda, tapi hanya sampai di liang lahat.” Untuk ketiga kalinya, orang kaya yang menghabiskan seluruh hidup dan keringatnya untuk mengumpulkan kekayaan demi anak dan isteri ini, kecewa berat lagi.
            Sehingga, yang tersisa hanya isteri pertama yang terkulai kurus, layu, lemah tanpa tenaga, dan kecantikannya sudah lama sekali memudar. Dengan pasrah orang kaya tadi bertanya dan meminta hal yang sama. Dan yang mengejutkan, kendati isteri pertama ini jarang diperhatikan, sering disakiti, dan paling sedikit mendapat uang, ia menganggukkan kepalanya tanda bersedia menemani sang suami sampai di dunia mana pun.
            Gede Prama menjelaskan, bahwa ia tidak tahu apakah cerita ini riil atau hanya karangan manusia semata. Yang jelas, ia menghadirkan refleksi yang sangat dalam. Isteri-isteri ini perilakunya sama serupa dengan empat isteri kehidupan. Isteri keempat adalah atribut-atribut yang kita perjuangkan, pertahankan dan kita manjakan dengan banyak sekali tenaga. Ia bisa berupa jabatan, kekayaan materi, dan segala bentuk pembungkus badan kasar. Dan ketika kita mati, semuanya menjawab tidak ikut secara ketus kepada kita.
            Isteri ketiga adalah badan kasar kita. Sebentuk badan yang juga dimanjakan banyak orang. Diberi makan yang enak. Diajak  ke tempat-tempat indah. Hampir semua lubangnya kita puaskan semampunya. Dan ia hanya bisa mengantar kita sampai di tempat kita dijemput sang maut.
            Isteri kedua adalah teman dan keluarga kita. Sebaik-baiknya mereka, hanya bisa menangis mengantar kita sampai di liang lahat. Isteri pertama yang sangat kurang dari perhatian kita, dan mendapat alokasi dana dan tenaga paling sedikit, ia bernama sang jiwa. Dialah satu-satunya “isteri” yang menemani kita selamanya.
            Gede Prama menitipkan pertanyaan buat kita: “Seberapa banyakkah dana dan tenaga yang telah kita alokasikan khusus buat sang jiwa?
            Pengalaman dan pengamatannya bahkan menunjukan dalam ketidaksadaran kolektif, kita sering malah menyiksa dan membuat sang jiwa menderita. Semua itu dilakukan, untuk memuaskan “isteri-isteri” yang lain. Sebut saja orang-orang yang berebut kekuasaan dengan segala cara. Atau mereka yang memuaskan pancaindranya tanpa rem yang memadai.
            Hebatnya, kendati ia disiksa dan dibuat menderita, sang jiwa akan senantiasa ikut bersama kita. Dalam hidup maupun mati. Dalam suka dan duka. Di tengah pujian maupun makian, entah karena lupa, entah karena khilaf, secara kolektif kita sudah lama tidak peka akan getaran-getaran sang jiwa.
            Jiwa hanya bisa mengangguk. Anda bebas memilih bagaimana anda akan “tidur” bersama isteri pertama. Hanya andalah yang bisa memutuskan, dengan isteri mana anda akan tidur.
Pada kesempatan yang lain Gede prama dalam buku yang sama meminjam kerangka seorang pemikir atraktif bernama Eknath Easwaran dalam buku Dialogue With Death: A Journey Through Consciousnes, tubuh kita sebenarnya mirif dengan kereta yang ditarik lima kuda. Kuda-kuda itu bernama pancaindra (mata, telinga, hidung, mulut dan kulit). Kelimanya lari berderap setiap hari. Sayangnya, kalau kereta sebenarnya dikendalikan oleh kusir, tubuh banyak orang dibiarkan saja ditarik ke sana-ke mari oleh kelima kuda ini. Di sinilah awal dan asal muasal interaksi antara badan kasar dan badan halus yang sulit dikendalikan.
            Bagaimana bisa mengendalikan kereta (baca: badan halus dan kasar), kalau keretanya lari cepat dan kencang tanpa kusir? Nah, di zaman yang sudah demikian kapitalis dan borjuis ini, kelima kuda tadi lari demikian kencangnya. Bahkan, sering lari ke arah yang berbeda-beda. Kalau ini membawa risiko dalam bentuk keretanya rusak parah, tentu mudah sekali bisa dimengerti, terangnya.
            Badan yang mengidap banyak penyakit, sakit kejiwaan yang melanda banyak orang, larinya orang ke narkoba, penyakit sosial (korupsi, perampokan, perceraian, dan lain-lain). Yang tidak kunjung sembuh, hanyalah sebagian bukti sahih yang menunjukkan, betapa kereta-kereta kita sudah dibuat demikian berantakan oleh lima kuda yang lari liar ke arah yang berbeda, terangnya lagi.
            Easwaran memang menyebut mind, emosi dan hasrat sebagai tali kendali kelima kuda tadi. Kitalah sang kusir yang diharapkan menjadi pengendali. Sayang, tidak sedikit orang yang misi dan tugasnya sebagai kusir, tetapi hanya pasrah di tengah kereta, kendati ditarik kuda liar ke berbagai arah.
            Kita harus mengendalikan pancaindra kita. Sekali pancaindra terkendali, kita bisa menghidupi kedua badan (badan halus dan badan kasar) dengan gizi yang cukup, tanpa perlu berlebihan, jelasnya.
            Ia kembali menjelaskan dengan ilustrasi bahwa tidak semua orang dilengkapi helikopter untuk pergi ke puncak gunung. Sebagian besar orang memang tidak dianugerahi helikopter yang bisa membuat perjalanan ke puncak gunung menjadi nikmat dan mudah. Namun, dengan kemampuan dan kesediaan menjadi kusir dari kedua badan ini (badan kasar dan badan halus), kita sedang memperkuat otot, mempertinggi keterampilan memanjat tebing, serta mengumpulkan tali-tali yang bisa membuat kita sampai ke puncak gunung ( Dalam konteks ini adalah Bertobat dan hidup suci murni di hadapan Tuhan).
            Semua itu kalau saya jelaskan dalam bahasa saya adalah bahwa sebenarnya selama kita hidup di dunia ini, kita ditipu, dikerjai, dan berusaha dijerumuskan ke lubang dosa oleh keenam indra kita, yaitu: mata, telinga, hidung, mulut,  kulit dan perasaan, karena indra keenam adalah perasaan), oleh sebab itu kita sebaiknya tidak menurutinya, apalagi memuaskannya secara membabi buta.