Stres berat yang keLima.

STRES BERAT YANG KELIMA

            Pertama kali di Jakarta aku menganggur selama dua bulan, aku kost di Grogol, Jakarta barat, kemudian aku mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan furniture di Kebun Jeruk, sebagai seorang office boy.

            Setelah beberapa bulan bekerja, kemudian aku mengalami stres dalam pekerjaan dan bermusuhan dengan teman kerjaku. Tiba-tiba aku berubah menjadi mania, dan menirukan sikap Jim Carey dalam Film The Mask, dan Ace Ventura.

Ketika sedang bermain di sebuah plaza aku memegang payudara gadis yang sedang berjalan, merogoh dalam rok wanita cantik dari belakang, lalu ketika aku melihat ada seorang gadis yang sedang menelepon tiba-tiba aku pegang dua buah dadanya dari belakang.

Lalu pada suatu hari, aku ingat bahwa aku punya teman di Surabaya dan ia punya lowongan pekerjaan untukku. Maka aku minta izin pada kakak dan adikku di Jakarta, lalu aku pulang ke rumahku di Lampung untuk pamit pada kedua orangtuaku, lalu aku pergi ke Surabaya. Sesampai di Surabaya aku diterima oleh temanku tetapi karena aku merasa perusahaan temanku itu tidak stabil, maka aku pamit padanya dan ingin menjadi pelukis kaki lima di Alun-alun Malang, maka akupun segera pergi ke Malang. Waktu itu temanku memberi uang transport sebesar Rp.150.000, tetapi uang itu dan semua uangku lainnya, sengaja aku tinggal di rumah temanku itu, karena aku merasa yakin bila uang itu dan uangku aku bawa, maka temanku itu akan jatuh miskin.

Ketika berangkat pergi ke Malang aku diantar oleh karyawan temanku sampai di terminal Bungurasih. Kemudian karena sadar bahwa aku tidak membawa uang sepeser pun maka aku berniat naik taxi kemudian aku bayar nanti kalau sudah sampai di Biara yang ku kenal di Malang, dengan cara berhutang pada Romo Steven. Tetapi tidak ada satu taxi pun yang mau mengantarku. Kemudian mereka menasehati aku, agar meminta surat pada kantor polisi di terminal, agar dapat naik bis secara gratis. Setelah itu aku pun menurutinya, dan segera ke kantor polisi tersebut. Tetapi sewaktu pak polisi bertanya padaku mengapa tidak punya uang, aku menjawab bahwa uangku sengaja aku tinggal semua di rumah temanku, kemudian pak polisi itu menjadi bingung dan menertawaiku lalu pak polisi yang lainnya menyarankan agar dalam surat itu ditulis saja bahwa aku kehilangan uang karena kecopetan. Setelah surat itu diberikan kepadaku, aku mengucapkan banyak terimakasih dan segera pergi mencari bis. Pada waktu itu ada kondektur bis yang mempersilakan aku untuk naik sebuah bis maka aku segera naik bis itu tanpa mengecek bis itu jurusan mana. Lalu setelah bis itu berjalan jauh aku baru sadar bahwa bis itu jurusan Pasuruan  bukan Malang, maka akupun disuruh turun. Kemudian aku bertanya pada orang tentang jalan ke Malang. Setelah itu aku berjalan kaki agak jauh kemudian menstop bis jurusan Malang. Lalu aku naik bis itu dan dimintai ongkos, lalu aku sodorkan surat dari bapak polisi tadi. Mendapat surat itu kondektur bis itu marah sekali dan membentak-bentak aku, untung aku tidak disuruh turun.

Sesampai di Malang aku langsung menuju ke sebuah gereja yang terletak di Tidar, lalu meletakkan tasku di depan pintu gereja, tepat di tengah lingkaran ornamen keramik. Ketika tasku menyentuh keramik, tiba-tiba hujan turun dengan deras sekali, maka hal itu tambah meyakinkanku bahwa apa yang ku pikirkan adalah benar.

Beberapa lama kemudian aku berniat pergi dari gereja itu menuju ke sebuah Biara. Ketika itu otoritas lain dalam diriku berkata: “Tinggal saja tasmu di sini, pasti tidak akan hilang, dan tidak akan ada seorang pun dapat menyentuhnya, karena Tuhan melindungi tasmu”, maka tasku itu pun aku tinggal di gereja itu, lalu aku berjalan kaki menuju ke Biara. Ketika aku sedang beranjak pergi, koster gereja itu berkata padaku: “Mas-mas tasnya kok nggak dibawa?”, “Biar saja”, jawabku. “Pegang saja kalau dapat kamu pegang, tetapi aku yakin tidak dapat kamu pegang kalau Tuhan tidak menghendakinya”, kataku lagi. Maka akupun terus berjalan pergi menuju ke Biara. Maka tasku itu beserta seluruh isinya, yaitu beberapa potong pakaian dan buku-buku pun  hilang. Sesampai di Biara, aku dibukakan pintu dan bertemu Romo Steven, pada Romo aku berkata: “Romo nilai saya 9 bukan 10”, maksudku yaitu bahwa aku adalah juru selamat yang dijanjikan itu, tetapi aku tidak sempurna. Kemudian aku bertanya: “Apa yang Romo inginkan?”, beliau menjawab:  “Saya tidak ingin apa-apa”. Lalu aku diberi makan. Setelah itu aku ditemui Frater Agung dan Romo Bernard, kata-kata dan sikapku waktu itu sudah tidak terkontrol lagi, maka kemudian oleh Frater Agung aku dibawa  ke rumah sakit jiwa, ditempatkan di ruang Mangga, selama 5 bulan.