DI
RUANG MANGGA
Di ruangan inilah aku untuk pertama kalinya dirawat di rumah sakit jiwa. Aku dirawat di sini mulai
bulan Februari 2001 sampai dengan bulan Juli 2001, jadi kurang lebih selama
lima bulan. Banyak suka dan duka yang ku alami selama di RSJ. Hampir tiap hari
aku sedih dan gembira. Aku sedih melihat keadaanku, dan disisi lain aku gembira
karena dapat melihat hal-hal aneh dan lucu yang dilakukan teman-temanku,
termasuk mengenang kegilaan-kegilaanku sendiri.
Aku dibawa ke RSJ pada malam hari. Ketika masuk ruang ini
aku bertanya pada orang-orang di sekitarku: “Ini di mana?”, tapi mereka tidak
menjawab. Lalu di situ ada seorang pria yang baru ku ketahui kemudian adalah
seorang pasien, pada orang itu aku bertanya: “Pak ini di mana?”, dia menjawab:
“Ini Mekah!, lihat dinding-dindingnya bagus”, katanya.
Waktu pagi aku bangun tidur, aku lihat sarung bantalku
bertuliskan RSJP, lalu aku mengartikan itu sebagai: “Rumah Sakit Jiwa
Presiden”. Jadi aku senang karena aku akan jadi Presiden Republik Indonesia
Federal, dan jiwaku sedang dibenahi. Tapi aku heran yang di sini kok ada banyak
orang, maka aku berpikir berarti calon Presidennya banyak, ternyata ada
persaingan, pikirku. Baru ku ketahui kemudian RSJP adalah singkatan dari Rumah
Sakit Jiwa Pusat.
Di RSJ punya kebiasaan bahwa pasien baru rambutnya harus
dipotong pendek ala tentara, maka rambutku pun dicukur. Sewaktu duduk di kursi
cukur ada pasien yang berjalan di depanku sambil menunduk sopan “Selamat pagi
Pak Pres!”, katanya, maka aku pun bertambah yakin bahwa aku ini benar-benar
Presiden yang terpilih.
Selama di RSJ ada pasien, sebut saja H selalu
mengolok-olok aku: “Kamu Kristen, orang Kristen pasti masuk neraka jahanam!”,
ia terus menyakiti hatiku dengan olokan-olokannya, selama berbulan-bulan, maka
pada suatu hari aku marah dan ia aku pukuli. Setelah keluar dari RSJ, aku
diberitahu kenalanku bahwa H ini sangat putus asa dan akhirnya bunuh diri
dengan cara menggantung diri.
Pada suatu hari ada seorang pasien yang sedang onani,
kemudian aku tanya: “Enak?, Enak ya?”, ia hanya diam memandangku sambil terus
onani. Malam harinya ketika aku sedang tidur, mataku dihantam olehnya, hingga
sakit sekali sampai berhari-hari.
Ada pasien, sebut saja A, membentur-mbenturkan kepalanya
ke pilar depan ruang Mangga, lalu aku berkata: “Lagi-lagi!”, maka iapun terus
membentur-mbenturkan kepalanya, kemudian ia berkata: “Terus-terus, coba
sekarang kamu!”, maka akupun pura-pura membentur-mbenturkan kepalaku ke pilar
supaya ia senang, rupanya ia tahu bahwa aku hanya berpura-pura, dan ia tidak
puas. Kemudian dipegangnya kepalaku lalu akan dibenturkannya ke pilar itu, maka
sebelum itu terjadi, ia ku hantam. Ketika itu ia melawan dan terjadi
perkelahian dan akulah yang kalah. Aku terkena banyak pukulan, badanku terasa
sakit semua, lalu aku segera melarikan diri.
Di RSJ punya disiplin bangun pagi sekitar jam 05.00, lalu
kami disuruh mandi, yang lainnya nyapu dan ngepel. Ketika itu aku bangun tidur
dan langsung mandi, tidak nyapu dan ngepel, kemudian aku dimarahi oleh salah
seorang Mantri: “Mengapa kamu tidak bantu nyapu dan ngepel?”, aku menjawab:
“Kalau aku nyapu atau ngepel, kan yang lain jadi nganggur, jadi sama saja kan?
Pasti ada yang nganggur”. Mendengar kata-kataku itu pak Mantri itu marah,
kemudian memukul dadaku, dengan kesal .
Aku pernah membuka catatan laporan diagnosaku sendiri di
lemari kantor, tujuannya untuk mengetahui tentang data penyakitku, tapi aku
ketahuan oleh pak Mantri kepala ruang dan aku dimarahi.
Di ruang ini aku pernah terkena penyakit kulit scabies, yaitu
penyakit kulit berupa benjolan-benjolan merah dan rasanya gatal sekali, tapi
kalau digaruk menjadi lecet-lecet.
Pada suatu hari ketika aku sedang menonton televisi, ada seorang
pasien yang mendempel-ndempel tempatku duduk, maka ia aku suruh cari tempat
duduk lain, tapi ia marah lalu berkata: “Ini pakaian yang kamu berikan, saya
kembalikan!”, sambil melepas baju seragam RSJ dan melemparkannya padaku,
setelah itu ia pergi, selang beberapa saat kemudian ia datang kembali dan
tiba-tiba menghantam kepalaku.
Di ruang ini waktu itu ada pasien yang suka menghantam
angin, sambil bilang: “Des….., des….”. Lalu ada pasien lain yang punya
kebiasaan melakukan gerakan pencak silat sambil menghantam dan menendang
tembok. Ada juga pasien yang melucu dengan bergulung-gulung di rerumputan.
Suatu hari ada seorang pasien baru, yang berbicara terus
dengan keras tanpa henti, tiba-tiba salah seorang Mantri menghampirinya dan
memukulinya hingga wajahnya lebam
dan hidungnya mengeluarkan banyak darah. Setelah dipukuli pasien itu
diam dan bersikap sopan. Rupanya pukulan-pukulan itu telah membuatnya sadar
atau paling tidak ia menjadi takut atau jera, sehingga tidak mengulangi
perbuatannya itu lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar