ReaLity Show.

REALITY SHOW

            Secara singkat dapat dikatakan bahwa ketika aku sakit parah, aku berpikir dan merasa bahwa aku adalah seorang bintang Reality Show yang di shoot 24 jam non stop dengan kamera yang tidak terlihat, dan disiarkan ke seluruh dunia melalui jaringan internet, dengan layar yang amat besar. Dimana yang menang akan menjadi Presiden Republik Indonesia Federal, sekaligus juru selamat alam semesta yang baru dan ia akan di anugerahi kekuatan supranatural. Semua orang Indonesia menjadi kontestannya, jurinya adalah Tuhan, dan krunya adalah para malaikat.

            Pada waktu itu aku meyakini bahwa akulah yang terpilih, tetapi tidak disetujui oleh orang Islam karena aku beragama Katolik. Aku merasa dikejar-kejar akan dibunuh. Namun kemudian aku merasa dan berpikir bahwa orang-orang Katolik dan Protestan pun menolakku karena begitu buruknya latar belakang hidupku. Lebih tepatnya karena aku tidak sempurna.

            Pada reality show itu aku berpikir bahwa semua orang dinilai, dan aku merasa bahwa nilaiku bukan 10 melainkan 9, oleh sebab itulah dengan tekad bulat dan keyakinan penuh bahwa aku adalah “Messenger of God”, maka aku datang ke sebuah Biara, dan bilang pada Romo Steven: “Romo nilai saya 9 bukan 10, saya berharap Romo menerima dan mendukung saya, tetapi bila Romo tidak mau menerima dan mendukung saya, maka sebaiknya cari yang lain saja, tetapi saya yakin tidak akan ada, karena yang dipilih Tuhan adalah adalah saya”. Di sepanjang jalan menuju Biara  itu aku berdoa Bapa Kami dan Salam Maria, aku merasa diikuti oleh ribuan pendukung di belakangku. Di tengah jalan aku menemukan sepucuk surat seorang anak bernama Fitri yaitu surat izin tidak masuk sekolah karena sakit. Membaca surat itu aku merasa sedih dan kemudian menangis tersedu-sedu, dalam benakku waktu itu aku berpikir bahwa anak itu tidak bisa melanjutkan perjuangan karena tahu penderitaanku dan sangat sedih, dan karena bukan pilihan Tuhan maka kemudian ia tewas di Stadion Gajayana.

            Dalam imajinasiku, pusat tempat tayangan reality show itu adalah di stadion Gajayana. Ketika itu ada ultimatum bahwa untuk membuktikan bahwa seseorang dipilih oleh Tuhan atau tidak maka ia harus menjalani test antara lain ditembak, dicincang, dilindas dengan mobil, dan lain-lain. Karena mereka meyakini bahwa apabila seseorang memang terpilih maka ia tidak akan mati atau luka sedikitpun. Dalam imajinasiku ada ribuan orang antri untuk dieksekusi, dan ada banyak orang penuh sesak menyaksikan proses itu. Maka ketika aku akan pergi ke Biara itu dan melewati stadion itu, dan kebetulan pada waktu itu sedang diadakan pertandingan sepakbola, maka keyakinanku bertambah besar dan semakin menjadi-jadi, karena di stadion Gajayana ada begitu banyak orang, baik di dalam maupun luar stadion dengan suara riuh dan gegap gempita.

            Aku berkeyakinan bahwa sesampai di Biara itu, aku akan disambut dengan sorak-sorai. Sesampai di sana aku diberi makan oleh Romo Steven, dan oleh Frater Agung aku dibawa ke dokter Limas Soetanto.SPKJ, dengan menggunakan mobil. Dalam perjalanan, aku kembali melewati stadion itu, dan pertandingan sepak bola belum selesai. Ketika itu aku merasa bahwa mobil yang kami tumpangi menembus masuk ke dalam stadion dan sesampai didalam semua orang kagum dan heran dan menyambut kami dengan meriah, tetapi kemudian aku merasa bahwa Frater Agung segera membawa mobil kami keluar dari dalam stadion dan berpindah ke dimensi dunia lain dimana disitu banyak terdapat kilatan cahaya. Pada kenyataannya kami tiba di tempat praktek dokter Limas, dan beliau sudah pulang maka Frater Agung membawaku ke kos-kosanku.

            Malam harinya aku berimajinasi dan yakin bahwa stadion Gajayana di bom Nuklir, hingga hancur lebur dan ada ribuan orang yang meninggal, tetapi kemudian kembali utuh lagi seperti sedia kala, dan orang-orang yang mati itu segera hidup kembali.

            Secara umum yang aku rasakan pada waktu itu adalah Eforia atau ekstase, yaitu kegembiraan yang meluap-luap dan berlebihan sehingga seolah-olah aku tidak dapat menampungnya lagi.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa ketika aku sakit parah, aku merasa menjadi pusat konsentrasi seluruh dunia dan televisi-televisi, koran-koran serta majalah-majalah memberitakan tentang diriku. Aku merasa menjadi bintang nomor satu dalam reality show alam semesta.

            Pada waktu itu, aku merasa diperintah oleh otoritas lain yang sebelum memerintah ia menyebutku dengan sebutan “Yang Mulia!”, atau “Bapak Presiden!”, dan aku dengan patuh dan senang hati menuruti segala kemauannya. Aku tidak tahu itu suara siapa atau suara apa. Apakah itu suara hati nuraniku yang sudah sesat, atau suara iblis, atau suara bagian pribadiku yang terpecah menjadi dua, yang kemudian memiliki otoritas sendiri, atau itu adalah suara dari harapan-harapanku yang membentuk menjadi sebuah pribadi yang bersuara. Yang jelas pada waktu itu suara itu menguasaiku sepenuhnya dan mengendalikan diriku. Ibarat kebanjiran aku sudah tenggelam.