Senin, 23 September 2013

BertobatLah.



BERTOBATLAH

            Pada suatu hari seorang Romo dalam kotbahnya bercerita bahwa pernah ada seorang anak kecil masuk kamar pengakuan untuk mengaku dosa kepadanya tetapi sesampai di kamar pengakuan anak itu hanya diam saja, beberapa lama kemudian anak itu menangis tersedu-sedu, ketika ditanya kenapa?, ia menjawab: “Romo…..saya tidak punya dosa….”
Apakah difinisi dosa menurut anda? Entah apa pendapat anda saya kurang tahu, karena setiap orang dapat membuat difinisi yang berbeda-beda. Tetapi menurut ilmu Teologi secara garis besar difinisi dosa adalah setiap pemikiran, perasaan, perkataan, sikap dan perbuatan yang tidak berkenan pada Allah yang dilakukan dengan sadar, tahu dan mau, baik secara sengaja maupun lalai. Kalau Frater Agung mengungkapkan bahwa dosa adalah setiap pemikiran, perasaan, perkataan, sikap dan perbuatan yang mementingkan aku, aku, aku dan aku tanpa mempedulikan Tuhan dan sesama atau dengan kata lain dosa adalah menuruti ego. Sedangkan saya secara pribadi mempunyai difinisi yang dangkal berdasarkan pengalaman saya yang dangkal bahwa menurut saya dosa adalah setiap pemikiran, perasaan, perkataan, sikap atau perbuatan yang menghasilkan rasa nikmat tapi dilarang oleh agama, contohnya adalah membicarakan orang lain alias ngerumpi, serakah, korupsi, berzinah dalam hati, bermain sek dengan gadis-gadis abg pelacur, minum-minuman keras, menghisap shabu-shabu dan lain-lain.
            Dalam perundingan program nuklir Korea utara, seorang diplomat Amerika Serikat mengungkapkan bahwa berbicara itu mudah tetapi mendengarkan itu sulit. Kemudian Mas Pardi, teman kerja saya pernah mengungkapkan pada saya bahwa berbicara itu mudah tetapi melakukan itu sulit. Berdasarkan pengalaman hidup saya, kedua pernyataan tersebut adalah benar. Kadang kita sulit mendengarkan permohonan, nasehat, teguran dan kritikkan. Dan kadang kita suka menasehati orang tetapi kesaksian hidup tersembunyi kita sendiri begitu buruk.
            Apa yang anda lakukan bila di hadapan anda ada kesempatan dan fasilitas untuk memperoleh dan memuaskan rasa nikmat? Misalnya anda mempunyai uang yang berkelimpahan, anda juga punya waktu, dan anda masih cukup muda, kemudian di hadapan anda ada gadis-gadis abg yang cantik dan menggairahkan yang siap dipakai kapan saja? Atau anda seoarang pimpinan yang memegang kendali uang, yang dengan mudah dapat membuat alasan mengada-ada untuk korupsi dalam jumlah besar tanpa ketahuan? Atau anda seorang pengusaha atau bisnisman yang punya banyak uang dan tahu betapa nikmatnya pesta sek, minum-minuman keras, dan shabu-shabu yang mengeluarkan uang lima atau sepuluh juta semalam bukan masalah buat anda? Atau anda wanita kaya yang kesepian dan punya banyak waktu dan kesempatan? Atau anda seseorang yang melarat namun punya nafsu sek yang menggebu-gebu dan sering ditawari minuman keras dan narkoba secara gratis? Atau anda seseorang yang kere namun punya imajinasi dan nafsu liar yang butuh dipuaskan dan punya banyak kesempatan untuk menghalalkan segala cara? Atau anda gadis abg yang kesepian, ingin hiburan dan kebebasan  dan anda tahu bahwa cewek boleh masuk diskotik dan café secara gratis pada hari-hari ladies night. Saya yakin sebagian besar dari anda akan mengiyakan godaan itu dan menurutinya. Bahkan mungkin anda begitu asyik dan bersemangat sehingga ketika suara Tuhan mengetuk hati anda, anda akan berpikir: ”Ah… menunggu puas berbuat dosa dulu, baru bertobat.” Ketika kata-kata ini saya diskusikan dengan seorang biarawan tua dari negeri Belanda yang tidak mau namanya disebutkan, ia mengungkapkan bahwa pemikiran seperti itu adalah tidak baik, orang seperti itu tidak mempunyai cinta akan Tuhan sedikit pun. Yang ada adalah takut kelak akan dihukum.  Menurutnya cinta akan Tuhan membahagiakan sedangkan ketakutan menggelisahkan. Orang seperti itu terus berbuat dosa karena egois, mau bertobat kemudian karena takut masuk neraka. Jadi bila saya ungkapkan dengan bahasa saya, setiap perbuatan baik atau pertobatan itu biasanya mempunyai dua alasan yang melatar belakangi. Yang pertama adalah perbuatan baik atau pertobatan itu didasari secara murni semata-mata karena cinta pada Tuhan, kemudian yang kedua dilakukan hanya karena takut kelak masuk neraka. Alasan yang tepat adalah yang pertama yaitu secara murni semata-mata karena cinta pada Tuhan.
            Dalam kitab suci diungkapkan bahwa, ”Roh memang penurut tetapi daging lemah” (Mat 26:41). Itu artinya adalah tidak mudah bagi seseorang untuk bertobat dan mengorbankan diri demi cinta pada Tuhan, dengan jalan meninggalkan segala kenikmatan yang seharusnya ia rasakan bila berada di lembah dosa. Bagi orang-orang seperti ini dunia memberi julukkan, ”Orang-orang bodoh dan sial.” Tetapi justru orang-orang yang seperti inilah yang berkenan pada Allah.
            Satu-satunya hal terbaik bagi orang yang berpikir:  ”Menunggu puas berbuat dosa dulu baru bertobat” adalah mengambil keputusan bulat untuk mengatakan ”Stop”, dan melaksanakan pertobatan itu dalam praktek nyata, tanpa banyak berpikir. Dengan demikian mengakhiri semua perbuatan dosa itu, sehingga dirinya terselamatkan. Langkah awal konkret sebagai wujud pertobatan itu adalah dengan mengaku dosa, dan mengakukan semua dosa kita itu secara jujur dan total, tanpa menutup-nutupi dosa seberat apa pun atau sangat memalukan seperti apa pun juga. Kemudian setelah itu kita menjaga kesucian hati kita.
            Sekali lagi harus saya katakan, bahwa cara bertobat adalah jangan banyak berpikir dan segera mengaku dosa, karena di dalam peperangan melawan kenikmatan, apabila anda banyak berpikir dan memperhitungkan untung-ruginya, anda pasti tidak akan pernah menang. Jadi segeralah mengaku dosa dan jadilah murni tak bercela, sederhana dan tanpa prasangka serta lihatlah sisi baik dalam setiap perkara.
            Mustinya pembahasan ini berhenti di sini, namun ada baiknyalah kita lanjutkan. Anda pasti pernah mendengar sebuah peribahasa yang berbunyi: ”Sepandai-pandai tupai melompat pada akhirnya jatuh juga.” Anda pasti tahu apa maknanya, yaitu bahwa setiap perbuatan buruk pada akhirnya akan ketahuan atau kena batunya, walaupun sang pelaku sangat sabar dan cerdik dalam melakukan dan menutupi aksinya. Mensikapi hal itu seorang pendosa yang ulung dan professional mempunyai kelebihan dari pendosa biasa yaitu ia tahu kapan sebaiknya ia berhenti. Karena bila diteruskan ia hanya akan menuai bencana. Walaupun sesungguhnya berhenti berbuat dosa karena takut hukuman adalah kurang baik bila dibandingkan dengan berhenti berbuat dosa murni semata-mata karena cinta pada Tuhan, namun hal itu sudah merupakan nilai plus bila dibandingkan seorang pendosa yang tidak pernah bertobat sama sekali. Karena dengan demikian kerugian yang ditimbulkan pada dirinya sendiri dan orang lain dapat dihentikan.
            Ketika saya dan teman-teman saya menemui Frater Agung.O,Carm, salah satu teman saya mengungkapkan bahwa dirinya sangat menikmati hidup di lembah dosa dan belum berniat untuk berhenti. Diluar dugaan saya, Frater Agung.O,Caram, justru memberi nasehat dengan suara lembut: ”Puas-puasin dulu  saja.” Ketika saya bertanya pada beliau tentang apa maknanya ia menjawab bahwa biasanya seseorang belum bisa berhenti berbuat dosa bila belum mencapai kepuasan, titik jenuh atau terkena batunya. Yang sesungguhnya kepuasan itu tidak pernah akan ada, yang ada adalah kesenangan sementara. Setelah itu kembali dilanda kehausan dan kelaparan yang bila dituruti hanya akan menyengsarakan diri kita.
            Alangkah baiknya bila seorang pendosa bertobat sebelum ia mencapai kepuasan, titik jenuh atau terkena batunya, walaupun sesungguhnya ia tidak merugikan orang lain, misalnya selingkuh atas dasar suka sama suka, pesta sek bersama gadis-gadis abg dengan uang hasil keringatnya sendiri, membeli minuman keras dan sabu-sabu dengan uang hasil jerih payahnya sendiri secara halal, dan lain-lain.
            Berhenti berbuat dosa atau bertobat adalah sebuah pengorbanan; pengorbanan untuk tidak menikmati lagi segala kenikmatan yang seharusnya ia rasakan seandainya terus berbuat dosa. Seperti yang telah saya ungkapkan pengorbanan ini dapat ditujukan untuk Tuhan yaitu atas dasar murni semata-mata karena cinta pada Tuhan atau dapat ditujukan untuk dirinya sendiri yaitu bertobat karena takut dirinya kelak dihukum. Sebenarnya hal terakhir ini lebih jauh hanyalah bentuk pemuasan ego yaitu bertobat demi kesenangan dan kepuasan aku. Namun sudah termasuk kemajuan dan patut dihargai karena hal ini pun tidak mudah. Dapat diibaratkan seseorang yang sedang berpuasa sedangkan disekelilingnya ada segala macam jenis makanan dan minuman yang sedap dan  lezat.
Bertobat selain merupakan pengorbanan juga merupakan keajaiban. Disebut keajaiban karena setiap orang punya dimensi sosial, dimana dirinya dapat ikut menyelamatkan atau menjerumuskan orang-orang di sekitarnya; seperti anggota keluarga, teman, sahabat, kenalan, ataupun orang-orang yang secara kebetulan melihatnya. Saya rasa kitab suci pun mengatakan demikian:

“Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita di Sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih daripada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.” (Luk 15:7).

“Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat.” (Luk 15:10)

“Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.” (Luk 15:32).

Hal yang paling penting agar bertobat adalah ada atau tidak adanya niat dari dalam diri. Bila seseorang tidak mempunyai niat bertobat maka segala macam nasehat baik adalah tidak berguna dan segala macam teguran, kritikkan, dan ancaman hanya menciptakan kebencian, permusuhan dan balas dendam bahkan perkelahian. Sebenarnya niat untuk bertobat dapat ditumbuhkan secara perlahan-lahan misalnya dengan menjadi anggota persekutuan doa seperti Lectio divina, Karmelit awam, Karismatik atau Legio Maria dan rajin membaca Kitab suci, mengikuti Misa kudus, menerima Sakramen pengakuan dosa atau bergaul dengan orang-orang saleh. Namun semuanya pada akhirnya tetap kembali pada sang pendosa sendiri apakah ia mau disadarkan atau tidak, mau diselamatkan atau tidak, mau kembali berjalan dijalan yang benar atau tidak, mau datang kepada terang atau tidak.
            Pada suatu hari saya berbincang-bincang dengan teman saya tentang dosa dan segala kenikmatan yang menyertainya serta pertobatan disisi lainnya. Dia adalah seorang pebisnis yang cukup sukses dan sudah tahu persis aral melintang dan asam garamnya lembah dosa karena ia suka minum-minuman keras, suka menghisap shabu-shabu, suka main judi dan suka membooking cewek-cewek cantik kelas lima jutaan sekali booking belum termasuk uang tipnya. Bisa dikatakan dia sudah merasakan apa yang disebut “Puas”, oleh sebab itulah menurut saya sepatah dua patah kata yang keluar dari mulutnya patut kita pertimbangkan bobotnya. Terus terang selama ini dia sedang berusaha dan berjuang keras untuk bertobat dan menghentikan semua aktifitas yang menghasilkan rasa nikmat namun dilarang itu. Namun secara jujur ia mengatakan pada saya bahwa amat sangat sulit. Kebanyakkan orang pandai berteori tetapi pada praktekknya tidak semudah itu. Bila seseorang menunggu puas dahulu baru bertobat maka hampir dapat dipastikan dia tidak pernah akan bertobat karena ketika dia sudah mencapai titik puas disitu juga dia sudah mencapai titik parah dan amat sangat sulit jadinya untuk bertobat. Memang diantara jeda hidupnya dia kadang-kadang jenuh atau bosan juga kemudian berhenti beberapa saat tetapi setelah beberapa lama kemudian ia ingin mengulangi hal itu lagi karena di dunia yang serba sementara dan tidak sempurna ini sesuatu yang mengagumkan, terasa indah dan memukau, ketika didekati dan dimiliki ternyata cuma sederhana dalam istilah Jawa, ”Tibae gor nggletek!” Namun anehnya ketika seseorang jenuh berbuat dosa dan mulai bertekad untuk bertobat, beberapa saat kemudian ia merasakan luapan menggebu-nggebu untuk mengulangi lagi hal yang “Nggletek” itu.
            Jadi secara singkat dapat dikatakan jangan menunggu puas dulu baru bertobat karena ketika anda sudah puas disitu juga anda mencapai titik kesulitan berat untuk bertobat. Lebih jelasnya mencapai taraf sudah puas tetapi tidak bisa lepas untuk bisa lepas memerlukan keajaiban, dan keajaiban itu adalah rahmat.

 










Saya ingin mengumpamakan bahwa situasi pendosa yang saya utarakan tadi adalah ibaratnya sebuah kertas kosong dimana di dalam kertas itu terdapat sebuah lingkaran kosong, yang kita perlukan hanyalah memberi satu titik tepat di tengah lingkaran itu. Yang saya maksudkan adalah bahwa pada suatu saat ketika kita berjuang keras untuk bertobat, kita akan menjumpai suatu kehampaan, tidak ada greget, niat atau tekad yang kuat atau kata-kata,” Ya mulai detik ini saya bertobat.” Seakan-akan semuanya diserahkan pada diri kita, berubah atau tidak, bertobat atau tidak. Seolah-olah kita memegang kontrol sepenuhnya akan situasi diri kita itu. Dan memberi sebuah titik berarti bertekad bulat 100% penuh untuk berubah, untuk bertobat. Santa Theresia dari Lisieux mengungkapkan hal yang senada dalam buku ”Renungan Santa Theresia dari Kanak-Kanak Yesus”, yang diterbitkan oleh Dioma:

”Yesus menghendaki cintakasih kita, yang sekarang ku mintakan. Semuanya seakan-akan diserahkan kepada kita. Ia tidak mau menerima apa-apa, kalau bukan kita yang memberikannya; yang terkecilpun sangat berharga di mata Ilahi.”

“Andaikan Yesus mau menunjukkan kepada semua jiwa karunia-Nya yang tak terkatakan, pasti tidak ada satu pun yang menolaknya. Tetapi ia tidak menghendaki kita mencintai-Nya karena pemberian-Nya. Dia sendirilah yang harus merupakan pahala kita.”

“Kadang-kadang kita tersergap menginginkan hal-hal yang menarik karena kilaunya. Pada saat-saat yang demikian itu marilah kita langsung menggolongkan diri dengan rendah hati pada rombongan orang yang tidak sempurna dan melihat diri sebagai jiwa-jiwa kecil yang setiap saat memerlukan dipapah oleh Allah yang mahabaik. Begitu kita sadar akan ketidak mampuan kita, Ia mengulurkan tangan-Nya.”

“Apabila Yesus memanggil suatu jiwa untuk membina, untuk menyelamatkan banyak jiwa lainnya, perlulah Ia membuatnya menghadapi godaan dan percobaan hidup.”

Kemudian Santa Theresia dari Avila dalam bukunya yang berjudul “Puri Batin”, mengungkapkan bahwa setan yang amat licik di balik selubung sesuatu yang baik, melalui hal-hal kecil, lambat laun menjauhkan jiwa dari Tuhan, dengan membisikkan bahwa hal itu tidak jahat, mengaburkan budi, melemahkan kehendak, menumbuhkan cinta diri,  perlahan-lahan setan menjauhkan jiwa dari kehendak Allah serta berhasil membujuknya untuk melakukan kehendak setan. Tidak ada klausura yang cukup ketat yang tidak dapat dimasuki setan. Tidak ada padang gurun yang terlalu terpencil sehingga tidak didatanginya. Dan rupanya, Tuhan membiarkan hal ini untuk menguji sikap jiwa yang dipanggil-Nya untuk menerangi orang lain. Sebab, jika mereka nyata tidak layak, lebih baik hal ini terjadi pada waktu permulaan dari pada kemudian merugikan banyak orang.
            Sekarang saya ingin mengajak anda untuk  merenungkan dua perikop teks kitab suci berikut ini:

Kebijaksanaan Tuhan


“Tetapi kamu berkata: Tindakan Tuhan tidak tepat! Dengarlah dulu, hai kaum Israel, apakah tindakan–Ku yang tidak tepat ataukah tindakanmu yang tidak tepat? Kalau orang benar berbalik dari kebenarannya dan melakukan kecurangan sehingga ia mati, ia harus mati karena kecurangan yang dilakukannya. Sebaliknya, kalau orang fasik bertobat dari kefasikkan yang dilakukannya dan ia melakukan keadilan dan kebenaran, ia akan menyelamatkan nyawanya. Ia insaf dan bertobat dari segala durhaka yang dibuatnya, ia pasti hidup, ia tidak akan mati.” (Yeh 18:25-28).

Perumpamaan tentang dua orang anak


            “Tetapi apakah pendapatmu tentang ini: Seorang mempunyai dua anak laki-laki, Ia pergi kepada anak yang sulung dan berkata: Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur. Jawab anak itu: Baik, bapa. Tetapi ia tidak pergi. Lalu orang itu pergi kepada anak yang kedua dan berkata demikian juga. Dan anak itu menjawab: Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi. Siapakah diantara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?” Jawab mereka: ”Yang terakhir.” Kata Yesus kepada mereka: ”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam kerajaan Allah. Sebab Yohanes datang untuk menunjukkan jalan kebenaran kepadamu, dan kamu tidak percaya kepadanya. Tetapi pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal percaya kepadanya. Dan meskipun kamu melihatnya, tetapi kemudian kamu tidak menyesal dan kamu tidak juga percaya kepadanya.” (Mat 21:28-32).

            Kemudian sekarang izinkanlah saya mempersembahkan kepada anda kata hati saya dahulu, berikut ini:

Tekad


Tekad oh tekad dimanakah engkau?
Mengapa engkau menyembunyikan diri dariku?
Padahal sudah sekian lama,
aku telah berjuang mencari engkau.
Mengapa aku senang berkata, ”Ya” pada kebaikan,
namun tidak melakukannya.
Mengapa kemudian aku menyesal,
tetapi tetap melakukannya.
Seakan-akan tidak bisa lepas dari dosa.
Mengapa sekarang segala sesuatunya,
engkau serahkan padaku?
Mengapa hatiku hampa?
Tidak ada bisikkan atau keyakinan,
yang menjadi titik tolak untuk berkata:
“Ya mulai detik ini aku bertobat.”
Mungkin aku merasa rugi,
karena melihat kenikmatan begitu besar,
yang seharusnya aku rasakan, bila berbuat dosa.
Sebenarnya aku lebih senang bila engkau memberi aku niat,
tetapi justru engkau memberi kebebasan padaku.
Dan aku harus membuat titik dalam kehampaan ini.
Mampukah aku?
Sekarang aku tak mau memperhitungkan untung-rugi lagi.
Biarlah aku rugi.
Biarlah aku tidak menikmati semua kenikmatan itu lagi.
Aku mau bertobat meskipun diejek bodoh dan sial.
Sekarang aku mengerti pertobatan adalah:
merupakan suatu pengorbanan.
Tuhan kalau boleh aku ingin mempersembahkan
segala kenikmatan yang seharusnya kurasakan itu padamu.
Tuhan sekarang aku mengucapkan:
selamat tinggal pada diriku yang lama,
dan aku membuka lembaran baru,
hidup suci murni di hadapan-Mu.
Biarlah aku menolak segala keinginan
untuk memuaskan egoku.
Asalkan aku berkenan pada-Mu.
Asalkan aku benar-benar mencintai-Mu.
Karena kini aku tahu:
“Mencintai-Mu adalah segalanya bagiku.”

            Alangkah indahnya bila kita berhasil menghentikan semua perbuatan dosa kita dan bertobat, sehingga pada waktu meninggal kita dapat mengatakan seperti yang tertulis dalam 2 Tim 4:7 “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman”
            Menurut saya untuk dapat bertobat seseorang memerlukan rahmat Tuhan 100% dan usaha dirinya sendiri 100% pula. Sekarang saya ingin bertanya pada anda: ”Sudahkah anda berusaha 100%? Walaupun bertobat itu sulit, tetapi saya yakin bahwa kita bisa asalkan kita mau 100%.
            Setelah kita membuat keputusan untuk bertobat selanjutnya tidaklah menjadi mudah. Itu baru langkah awal. Setelah itu anda justru semakin digoda berupa bisikan-bisikan atau ingatan-ingatan dan harapan-harapan tentang betapa nikmatnya dosa, dan menawarkan pada kita kemungkinan-kemungkinan atau hal-hal yang belum pernah dirasakan dan mengatakan pada kita: ”Sangat sayang bila dilewatkan.” Namun kuatkanlah hati anda dan jadikanlah kata-kata berikut ini menjadi milik anda:

“Aku telah mengalahkan dunia.”

“Aku telah mengalahkan ego.”

            Apabila anda kenali dalam-dalam sebenarnya berbuat dosa itu bukan hanya menghasilkan rasa nikmat saja melainkan juga penderitaan fisik dan batin kita, yang dapat mengakibatkan kita sakit jiwa atau kumat. Dan sesungguhnya penderitaannya jauh lebih besar daripada rasa nikmat yang dihasilkannya, karena rasa nikmat itu hanyalah bagaikan lintasan bayangan yang berkelebat, namun setelah itu hilang. Bisa dikatakan kenikmatan itu hanyalah imajinasi sementara, sedangkan yang menjadi fakta adalah penderitaannya dan akibatnya kita rasakan cukup lama bahkan kekal.
            Sekarang saya ingin mengungkapkan bahwa bertobat itu bukan masalah perasaan tetapi masalah perbuatan. Santa Theresia dari Lisieux dalam otobiografinya yang berjudul “Aku percaya akan cinta kasih Allah”, mengungkapkan:

“Meskipun tidak mempunyai kegembiraan iman, namun aku berusaha sekuat tenaga melaksanakannya dalam perbuatan.”

Semua teori yang saya ungkapkan di atas itu tadi adalah kurang berguna karena yang lebih berguna adalah praktek nyata, seperti yang diungkapakan oleh Santa Theresia dari Lisieux, dalam buku “Renungan Santa Theresia dari Kanak-Kanak Yesus”, berikut ini:

“Aku tidak merendahkan gagasan-gagasan luhur yang mengisi jiwa dan menyatukannya dengan Tuhan, tetapi sejak lama aku mengerti bahwa tidak perlu menyandarkan diri padanya atau pun mengartikan kesempurnaan sebagai menerima banyak cahaya. Gagasan-gagasan yang paling indah bukan apa-apa tanpa pekerjaan.”

            Berbuat dosa tidak akan pernah bisa dipuaskan oleh sebab itu jangan menunggu puas berbuat dosa dulu baru bertobat. Sekali lagi saya ingin mengungkapkan  bahwa puas berbuat dosa itu tidak pernah akan ada yang ada adalah puas pada saat itu, jadi puas sementara, setelah itu kembali kelaparan dan kehausan. Seandainya anda benar-benar mengejar kepuasan berbuat dosa dulu baru bertobat, dan seandainya apa yang disebut puas itu memang benar-benar ada, berbahagialah anda karena anda bertobat, sebelum anda merasakan kepuasan. Seperti halnya Tuhan Yesus berkata pada Tomas: ”Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (Yoh 20:29).
            Sebenarnya banyak keuntungan yang dapat kita peroleh atau akan kita peroleh seandainya kita bertobat, baik keuntungan secara materi maupun keuntungan secara rohani. Sebaliknya banyak kerugian yang kita terima atau akan kita terima, apabila kita tidak bertobat, karena cepat atau lambat kita akan terkena batunya. Oleh sebab itu adalah sangat baik apabila kita bertobat dengan tujuan agar bisa hidup mulia.
            Saya pernah dinasehati oleh Dokter Gitohoesodo bahwa bila saya ingin bertobat dan  meninggalkan trauma masa lalu, saya harus belajar dari kisah Kitab suci tentang Sodom dan Gomora yang ada di Kej 19:1-29, dimana di ayat 17 Tuhan melalui seorang malaikat berkata kepada Lot, isteri dan anaknya: “Larilah, selamatkanlah nyawamu; janganlah menoleh ke belakang, dan janganlah berhenti di mana pun juga di lembah Yordan, larilah ke pegunungan, supaya engkau jangan mati lenyap”. Tetapi pada ayat 26 diceritakan bahwa isteri Lot yang berjalan mengikuti Lot, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam.  Tuhan Yesus dalam Luk 9:62, juga mengungkapkan hal yang senada, yaitu: “Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah.” Dan Santo Paulus dalam Flp 3:13-14 mengungkapkan: “Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.” Artinya bila kita ingin bertobat kita harus melupakan dan meninggalkan masa lalu kita, dan jangan mengingat-ingat lagi, melainkan terus maju menyatukan diri kita dengan Tuhan. Kalau anda memerlukan figur yang dapat dijadikan teladan untuk bertobat, belajarlah pada Santo Paulus, Santa Maria Magdalena, Santo Agustinus. Anda dapat menemukannya di buku-buku riwayat orang-orang Kudus.
Dan ingatlah bahwa roh jahat juga mengenal Tuhan Yesus ( Mrk 1:24, Mrk 1:34, Mrk 5:7 ), roh jahat juga menyembah Tuhan Yesus ( Mrk 5:6 ) dan roh jahat juga jatuh tersungkur dihadapan Tuhan Yesus ( Mrk 3:11) tetapi yang jelas mereka tidak melakukan perintah-perintah-Nya. Bukan orang yang menyebut Tuhan-Tuhan yang akan diselamatkan melainkan setiap orang yang melakukan perintah-perintah-Nya (Mat 7:21), dengan demikian menjadi serupa dengan Dia.    
Sekarang saya ingin mengajak anda untuk memahami bahwa inti dosa adalah menuruti ego atau menuruti bisikan untuk memuaskan cinta diri, dan itu dapat mengambil banyak bentuk dalam hal-hal kecil dan sederhana dan dapat berupa hal-hal yang kelihatannya positip seperti berdoa, atau memberi sumbangan, misalnya berdoa sampai melantur, berdoa tanpa mempedulikan pekerjaan, berdoa tanpa mempedulikan kesehatan sosial, berdoa agar dianggap orang baik,  memberi sumbangan demi popularitas, memberi sumbangan pada orang yang cantik atau tampan saja dan lain-lain. Hanya kita sendiri yang tahu persis apa motivasi sebenarnya dibalik perbuatan baik kita; murni untuk Tuhan atau hanya sekedar memuaskan ego kita. Bertobat berarti menyangkal keinginan cinta diri kita, dan itu menyakitkan tetapi jauh di lubuk hati kita, kita akan merasa bahagia. Sebenarnya setiap orang dapat bertobat dan menjadi Santo-Santa bila ia memang mau karena kriterianya bukanlah hal yang muluk-muluk dan melambung di angkasa melainkan bagaimana mengabdi Tuhan lewat hal-hal kecil dan sederhana dan bagaimana kita menghayatinya. Saya pernah membaca tulisan di bagian sampul belakang buku: ”Novena dan Doa-doa suci”, yang berbunyi:

Mengapa ada Santo dan Santa?
Karena mereka gembira,
jika sulit untuk bergembira;
mereka sabar,
jika sulit untuk bersabar;
dan karena mereka terus maju,
kalau mereka ingin berhenti;
dan mereka diam,
jika mereka ingin berbicara;
dan mereka ramah,
jika mereka mau marah.
Hanya itu.
Itu sangat sederhana
dan akan tetap demikian.

            Ketika membaca buku yang berjudul, “Percaya cinta percaya keajaiban”, karya Gede Prama, Gede Prama mengatakan bahwa ia punya hobi melayat, karena ini adalah kelas pelatihan kehidupan yang tidak bisa ditandingi oleh kelas pelatihan lainnya. Kalau kelas pelatihan pada umumnya, hanya mengundang refleksi sebagian orang, di depan orang meninggal hampir semua orang berefleksi.
            Pada suatu hari oleh temannya, Gede Prama dikirimi sebuah cerita yang sangat reflektif melalui E-mail, ia sangat bersyukur kepada Tuhan karena menerimanya. Cerita itu adalah sebagai berikut:
Konon, di suatu waktu ada seorang kaya raya yang memiliki empat istri. Di depan gerbang kematian, ia diberi kesempatan untuk mengajak hanya salah satu dari empat isterinya.
            Pertama-tama ia panggil isterinya yang keempat. Maklum, ini yang paling muda, paling cantik, paling menawan, paling disayang, sekaligus menguras paling banyak uang. Dengan nada suara yang mengundang rasa kasihan, orang kaya yang sudah renta ini bertanya: “Maukah engkau menemani aku sampai ke alam kematian?” Seperti disambar petir rasanya, ketika orang tua ini mendengar jawaban ketus isterinya yang keempat: “Ndak.”
            Kecewa dengan isterinya yang keempat, ia pun memanggil isteri yang ketiga. Bisa dimaklumi, karena ini adalah isteri ranking kedua dalam banyak hal. Belajar dari kegagalan sebelumnya, ia pun bertanya sambil memeluk mesra isteri ketiga: “Sudikah kamu menjadi pendampingku memasuki gerbang kematian?”, Yang ini jawabannya lebih sopan: “Maafkan kanda, saya hanya bisa mengantarmu sampai di sini.”
            Menangis mengakhiri pengalaman kedua ini, ia pun tidak putus asa. Dipanggilah isteri yang kedua, tentu saja dengan pertanyaan dan permintaan yang sama. Isteri kedua ini menjawab lembut: “Saya akan antar kanda, tapi hanya sampai di liang lahat.” Untuk ketiga kalinya, orang kaya yang menghabiskan seluruh hidup dan keringatnya untuk mengumpulkan kekayaan demi anak dan isteri ini, kecewa berat lagi.
            Sehingga, yang tersisa hanya isteri pertama yang terkulai kurus, layu, lemah tanpa tenaga, dan kecantikannya sudah lama sekali memudar. Dengan pasrah orang kaya tadi bertanya dan meminta hal yang sama. Dan yang mengejutkan, kendati isteri pertama ini jarang diperhatikan, sering disakiti, dan paling sedikit mendapat uang, ia menganggukkan kepalanya tanda bersedia menemani sang suami sampai di dunia mana pun.
            Gede Prama menjelaskan, bahwa ia tidak tahu apakah cerita ini riil atau hanya karangan manusia semata. Yang jelas, ia menghadirkan refleksi yang sangat dalam. Isteri-isteri ini perilakunya sama serupa dengan empat isteri kehidupan. Isteri keempat adalah atribut-atribut yang kita perjuangkan, pertahankan dan kita manjakan dengan banyak sekali tenaga. Ia bisa berupa jabatan, kekayaan materi, dan segala bentuk pembungkus badan kasar. Dan ketika kita mati, semuanya menjawab tidak ikut secara ketus kepada kita.
            Isteri ketiga adalah badan kasar kita. Sebentuk badan yang juga dimanjakan banyak orang. Diberi makan yang enak. Diajak  ke tempat-tempat indah. Hampir semua lubangnya kita puaskan semampunya. Dan ia hanya bisa mengantar kita sampai di tempat kita dijemput sang maut.
            Isteri kedua adalah teman dan keluarga kita. Sebaik-baiknya mereka, hanya bisa menangis mengantar kita sampai di liang lahat. Isteri pertama yang sangat kurang dari perhatian kita, dan mendapat alokasi dana dan tenaga paling sedikit, ia bernama sang jiwa. Dialah satu-satunya “isteri” yang menemani kita selamanya.
            Gede Prama menitipkan pertanyaan buat kita: “Seberapa banyakkah dana dan tenaga yang telah kita alokasikan khusus buat sang jiwa?
            Pengalaman dan pengamatannya bahkan menunjukan dalam ketidaksadaran kolektif, kita sering malah menyiksa dan membuat sang jiwa menderita. Semua itu dilakukan, untuk memuaskan “isteri-isteri” yang lain. Sebut saja orang-orang yang berebut kekuasaan dengan segala cara. Atau mereka yang memuaskan pancaindranya tanpa rem yang memadai.
            Hebatnya, kendati ia disiksa dan dibuat menderita, sang jiwa akan senantiasa ikut bersama kita. Dalam hidup maupun mati. Dalam suka dan duka. Di tengah pujian maupun makian, entah karena lupa, entah karena khilaf, secara kolektif kita sudah lama tidak peka akan getaran-getaran sang jiwa.
            Jiwa hanya bisa mengangguk. Anda bebas memilih bagaimana anda akan “tidur” bersama isteri pertama. Hanya andalah yang bisa memutuskan, dengan isteri mana anda akan tidur.
Pada kesempatan yang lain Gede prama dalam buku yang sama meminjam kerangka seorang pemikir atraktif bernama Eknath Easwaran dalam buku Dialogue With Death: A Journey Through Consciousnes, tubuh kita sebenarnya mirif dengan kereta yang ditarik lima kuda. Kuda-kuda itu bernama pancaindra (mata, telinga, hidung, mulut dan kulit). Kelimanya lari berderap setiap hari. Sayangnya, kalau kereta sebenarnya dikendalikan oleh kusir, tubuh banyak orang dibiarkan saja ditarik ke sana-ke mari oleh kelima kuda ini. Di sinilah awal dan asal muasal interaksi antara badan kasar dan badan halus yang sulit dikendalikan.
            Bagaimana bisa mengendalikan kereta (baca: badan halus dan kasar), kalau keretanya lari cepat dan kencang tanpa kusir? Nah, di zaman yang sudah demikian kapitalis dan borjuis ini, kelima kuda tadi lari demikian kencangnya. Bahkan, sering lari ke arah yang berbeda-beda. Kalau ini membawa risiko dalam bentuk keretanya rusak parah, tentu mudah sekali bisa dimengerti, terangnya.
            Badan yang mengidap banyak penyakit, sakit kejiwaan yang melanda banyak orang, larinya orang ke narkoba, penyakit sosial (korupsi, perampokan, perceraian, dan lain-lain). Yang tidak kunjung sembuh, hanyalah sebagian bukti sahih yang menunjukkan, betapa kereta-kereta kita sudah dibuat demikian berantakan oleh lima kuda yang lari liar ke arah yang berbeda, terangnya lagi.
            Easwaran memang menyebut mind, emosi dan hasrat sebagai tali kendali kelima kuda tadi. Kitalah sang kusir yang diharapkan menjadi pengendali. Sayang, tidak sedikit orang yang misi dan tugasnya sebagai kusir, tetapi hanya pasrah di tengah kereta, kendati ditarik kuda liar ke berbagai arah.
            Kita harus mengendalikan pancaindra kita. Sekali pancaindra terkendali, kita bisa menghidupi kedua badan (badan halus dan badan kasar) dengan gizi yang cukup, tanpa perlu berlebihan, jelasnya.
            Ia kembali menjelaskan dengan ilustrasi bahwa tidak semua orang dilengkapi helikopter untuk pergi ke puncak gunung. Sebagian besar orang memang tidak dianugerahi helikopter yang bisa membuat perjalanan ke puncak gunung menjadi nikmat dan mudah. Namun, dengan kemampuan dan kesediaan menjadi kusir dari kedua badan ini (badan kasar dan badan halus), kita sedang memperkuat otot, mempertinggi keterampilan memanjat tebing, serta mengumpulkan tali-tali yang bisa membuat kita sampai ke puncak gunung ( Dalam konteks ini adalah Bertobat dan hidup suci murni di hadapan Tuhan).
            Semua itu kalau saya jelaskan dalam bahasa saya adalah bahwa sebenarnya selama kita hidup di dunia ini, kita ditipu, dikerjai, dan berusaha dijerumuskan ke lubang dosa oleh keenam indra kita, yaitu: mata, telinga, hidung, mulut,  kulit dan perasaan, karena indra keenam adalah perasaan), oleh sebab itu kita sebaiknya tidak menurutinya, apalagi memuaskannya secara membabi buta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar