BERTOBATLAH
Pada
suatu hari seorang Romo dalam kotbahnya bercerita bahwa pernah ada seorang anak
kecil masuk kamar pengakuan untuk mengaku dosa kepadanya tetapi sesampai di
kamar pengakuan anak itu hanya diam saja, beberapa lama kemudian anak itu
menangis tersedu-sedu, ketika ditanya kenapa?, ia menjawab: “Romo…..saya tidak
punya dosa….”
Apakah difinisi dosa menurut
anda? Entah apa pendapat anda saya kurang tahu, karena setiap orang dapat
membuat difinisi yang berbeda-beda. Tetapi menurut ilmu Teologi secara garis
besar difinisi dosa adalah setiap pemikiran, perasaan, perkataan, sikap dan
perbuatan yang tidak berkenan pada Allah yang dilakukan dengan sadar, tahu dan
mau, baik secara sengaja maupun lalai. Kalau Frater Agung mengungkapkan bahwa dosa
adalah setiap pemikiran, perasaan, perkataan, sikap dan perbuatan yang
mementingkan aku, aku, aku dan aku tanpa mempedulikan Tuhan dan sesama atau
dengan kata lain dosa adalah menuruti ego. Sedangkan saya secara pribadi
mempunyai difinisi yang dangkal berdasarkan pengalaman saya yang dangkal bahwa
menurut saya dosa adalah setiap pemikiran, perasaan, perkataan, sikap atau
perbuatan yang menghasilkan rasa nikmat tapi dilarang oleh agama, contohnya
adalah membicarakan orang lain alias ngerumpi, serakah, korupsi, berzinah dalam
hati, bermain sek dengan gadis-gadis abg pelacur, minum-minuman keras,
menghisap shabu-shabu dan lain-lain.
Dalam
perundingan program nuklir Korea utara, seorang diplomat Amerika Serikat
mengungkapkan bahwa berbicara itu mudah tetapi mendengarkan itu sulit. Kemudian
Mas Pardi, teman kerja saya pernah mengungkapkan pada saya bahwa berbicara itu
mudah tetapi melakukan itu sulit. Berdasarkan pengalaman hidup saya, kedua
pernyataan tersebut adalah benar. Kadang kita sulit mendengarkan permohonan,
nasehat, teguran dan kritikkan. Dan kadang kita suka menasehati orang tetapi
kesaksian hidup tersembunyi kita sendiri begitu buruk.
Apa
yang anda lakukan bila di hadapan anda ada kesempatan dan fasilitas untuk
memperoleh dan memuaskan rasa nikmat? Misalnya anda mempunyai uang yang
berkelimpahan, anda juga punya waktu, dan anda masih cukup muda, kemudian di
hadapan anda ada gadis-gadis abg yang cantik dan menggairahkan yang siap
dipakai kapan saja? Atau anda seoarang pimpinan yang memegang kendali uang,
yang dengan mudah dapat membuat alasan mengada-ada untuk korupsi dalam jumlah
besar tanpa ketahuan? Atau anda seorang pengusaha atau bisnisman yang punya
banyak uang dan tahu betapa nikmatnya pesta sek, minum-minuman keras, dan
shabu-shabu yang mengeluarkan uang lima atau sepuluh juta semalam bukan masalah
buat anda? Atau anda wanita kaya yang kesepian dan punya banyak waktu dan
kesempatan? Atau anda seseorang yang melarat namun punya nafsu sek yang
menggebu-gebu dan sering ditawari minuman keras dan narkoba secara gratis? Atau
anda seseorang yang kere namun punya imajinasi dan nafsu liar yang butuh
dipuaskan dan punya banyak kesempatan untuk menghalalkan segala cara? Atau anda
gadis abg yang kesepian, ingin hiburan dan kebebasan dan anda tahu bahwa cewek boleh masuk
diskotik dan café secara gratis pada hari-hari ladies night. Saya yakin
sebagian besar dari anda akan mengiyakan godaan itu dan menurutinya. Bahkan
mungkin anda begitu asyik dan bersemangat sehingga ketika suara Tuhan mengetuk
hati anda, anda akan berpikir: ”Ah… menunggu puas berbuat dosa dulu, baru
bertobat.” Ketika kata-kata ini saya diskusikan dengan seorang biarawan tua
dari negeri Belanda yang tidak mau namanya disebutkan, ia mengungkapkan bahwa
pemikiran seperti itu adalah tidak baik, orang seperti itu tidak mempunyai
cinta akan Tuhan sedikit pun. Yang ada adalah takut kelak akan dihukum. Menurutnya cinta akan Tuhan membahagiakan
sedangkan ketakutan menggelisahkan. Orang seperti itu terus berbuat dosa karena
egois, mau bertobat kemudian karena takut masuk neraka. Jadi bila saya
ungkapkan dengan bahasa saya, setiap perbuatan baik atau pertobatan itu
biasanya mempunyai dua alasan yang melatar belakangi. Yang pertama adalah
perbuatan baik atau pertobatan itu didasari secara murni semata-mata karena
cinta pada Tuhan, kemudian yang kedua dilakukan hanya karena takut kelak masuk
neraka. Alasan yang tepat adalah yang pertama yaitu secara murni semata-mata
karena cinta pada Tuhan.
Dalam
kitab suci diungkapkan bahwa, ”Roh memang penurut tetapi daging lemah” (Mat
26:41). Itu artinya adalah tidak mudah bagi seseorang untuk bertobat dan
mengorbankan diri demi cinta pada Tuhan, dengan jalan meninggalkan segala
kenikmatan yang seharusnya ia rasakan bila berada di lembah dosa. Bagi
orang-orang seperti ini dunia memberi julukkan, ”Orang-orang bodoh dan sial.”
Tetapi justru orang-orang yang seperti inilah yang berkenan pada Allah.
Satu-satunya
hal terbaik bagi orang yang berpikir: ”Menunggu
puas berbuat dosa dulu baru bertobat” adalah mengambil keputusan bulat
untuk mengatakan ”Stop”, dan melaksanakan pertobatan itu dalam
praktek nyata, tanpa banyak berpikir. Dengan demikian mengakhiri
semua perbuatan dosa itu, sehingga dirinya terselamatkan. Langkah
awal konkret sebagai wujud pertobatan itu adalah dengan mengaku dosa,
dan mengakukan semua dosa kita itu secara jujur dan total, tanpa
menutup-nutupi dosa seberat apa pun atau sangat memalukan seperti apa pun juga.
Kemudian setelah itu kita menjaga kesucian hati kita.
Sekali
lagi harus saya katakan, bahwa cara bertobat adalah jangan banyak berpikir dan
segera mengaku dosa, karena di dalam peperangan melawan kenikmatan, apabila
anda banyak berpikir dan memperhitungkan untung-ruginya, anda pasti tidak akan
pernah menang. Jadi segeralah mengaku dosa dan jadilah murni tak bercela,
sederhana dan tanpa prasangka serta lihatlah sisi baik dalam setiap perkara.
Mustinya
pembahasan ini berhenti di sini, namun ada baiknyalah kita lanjutkan. Anda
pasti pernah mendengar sebuah peribahasa yang berbunyi: ”Sepandai-pandai tupai
melompat pada akhirnya jatuh juga.” Anda pasti tahu apa maknanya, yaitu bahwa
setiap perbuatan buruk pada akhirnya akan ketahuan atau kena batunya, walaupun
sang pelaku sangat sabar dan cerdik dalam melakukan dan menutupi aksinya.
Mensikapi hal itu seorang pendosa yang ulung dan professional mempunyai
kelebihan dari pendosa biasa yaitu ia tahu kapan sebaiknya ia berhenti. Karena
bila diteruskan ia hanya akan menuai bencana. Walaupun sesungguhnya berhenti
berbuat dosa karena takut hukuman adalah kurang baik bila dibandingkan dengan
berhenti berbuat dosa murni semata-mata karena cinta pada Tuhan, namun hal itu
sudah merupakan nilai plus bila dibandingkan seorang pendosa yang tidak pernah
bertobat sama sekali. Karena dengan demikian kerugian yang ditimbulkan pada
dirinya sendiri dan orang lain dapat dihentikan.
Ketika
saya dan teman-teman saya menemui Frater Agung.O,Carm, salah satu teman saya
mengungkapkan bahwa dirinya sangat menikmati hidup di lembah dosa dan belum
berniat untuk berhenti. Diluar dugaan saya, Frater Agung.O,Caram, justru
memberi nasehat dengan suara lembut: ”Puas-puasin dulu saja.” Ketika saya bertanya pada beliau
tentang apa maknanya ia menjawab bahwa biasanya seseorang belum bisa berhenti
berbuat dosa bila belum mencapai kepuasan, titik jenuh atau terkena batunya.
Yang sesungguhnya kepuasan itu tidak pernah akan ada, yang ada adalah
kesenangan sementara. Setelah itu kembali dilanda kehausan dan kelaparan yang
bila dituruti hanya akan menyengsarakan diri kita.
Alangkah
baiknya bila seorang pendosa bertobat sebelum ia mencapai kepuasan, titik jenuh
atau terkena batunya, walaupun sesungguhnya ia tidak merugikan orang lain,
misalnya selingkuh atas dasar suka sama suka, pesta sek bersama gadis-gadis abg
dengan uang hasil keringatnya sendiri, membeli minuman keras dan sabu-sabu
dengan uang hasil jerih payahnya sendiri secara halal, dan lain-lain.
Berhenti
berbuat dosa atau bertobat adalah sebuah pengorbanan; pengorbanan untuk tidak
menikmati lagi segala kenikmatan yang seharusnya ia rasakan seandainya terus
berbuat dosa. Seperti yang telah saya ungkapkan pengorbanan ini dapat ditujukan
untuk Tuhan yaitu atas dasar murni semata-mata karena cinta pada Tuhan atau
dapat ditujukan untuk dirinya sendiri yaitu bertobat karena takut dirinya kelak
dihukum. Sebenarnya hal terakhir ini lebih jauh hanyalah bentuk pemuasan ego
yaitu bertobat demi kesenangan dan kepuasan aku. Namun sudah termasuk kemajuan
dan patut dihargai karena hal ini pun tidak mudah. Dapat diibaratkan seseorang
yang sedang berpuasa sedangkan disekelilingnya ada segala macam jenis makanan
dan minuman yang sedap dan lezat.
Bertobat
selain merupakan pengorbanan juga merupakan keajaiban. Disebut keajaiban karena
setiap orang punya dimensi sosial, dimana dirinya dapat ikut menyelamatkan atau
menjerumuskan orang-orang di sekitarnya; seperti anggota keluarga, teman,
sahabat, kenalan, ataupun orang-orang yang secara kebetulan melihatnya. Saya
rasa kitab suci pun mengatakan demikian:
“Aku berkata kepadamu: Demikian
juga akan ada sukacita di Sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih
daripada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak
memerlukan pertobatan.” (Luk 15:7).
“Aku berkata kepadamu: Demikian
juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa
yang bertobat.” (Luk 15:10)
“Kita patut bersukacita dan
bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang
dan didapat kembali.” (Luk 15:32).
Hal yang
paling penting agar bertobat adalah ada atau tidak adanya niat dari dalam diri.
Bila seseorang tidak mempunyai niat bertobat maka segala macam nasehat baik
adalah tidak berguna dan segala macam teguran, kritikkan, dan ancaman hanya
menciptakan kebencian, permusuhan dan balas dendam bahkan perkelahian.
Sebenarnya niat untuk bertobat dapat ditumbuhkan secara perlahan-lahan misalnya
dengan menjadi anggota persekutuan doa seperti Lectio divina, Karmelit awam,
Karismatik atau Legio Maria dan rajin membaca Kitab suci, mengikuti Misa kudus,
menerima Sakramen pengakuan dosa atau bergaul dengan orang-orang saleh. Namun
semuanya pada akhirnya tetap kembali pada sang pendosa sendiri apakah ia mau
disadarkan atau tidak, mau diselamatkan atau tidak, mau kembali berjalan
dijalan yang benar atau tidak, mau datang kepada terang atau tidak.
Pada
suatu hari saya berbincang-bincang dengan teman saya tentang dosa dan segala
kenikmatan yang menyertainya serta pertobatan disisi lainnya. Dia adalah
seorang pebisnis yang cukup sukses dan sudah tahu persis aral melintang dan
asam garamnya lembah dosa karena ia suka minum-minuman keras, suka menghisap
shabu-shabu, suka main judi dan suka membooking cewek-cewek cantik kelas lima
jutaan sekali booking belum termasuk uang tipnya. Bisa dikatakan dia sudah
merasakan apa yang disebut “Puas”, oleh sebab itulah menurut saya sepatah dua
patah kata yang keluar dari mulutnya patut kita pertimbangkan bobotnya. Terus
terang selama ini dia sedang berusaha dan berjuang keras untuk bertobat dan
menghentikan semua aktifitas yang menghasilkan rasa nikmat namun dilarang itu.
Namun secara jujur ia mengatakan pada saya bahwa amat sangat sulit. Kebanyakkan
orang pandai berteori tetapi pada praktekknya tidak semudah itu. Bila seseorang
menunggu puas dahulu baru bertobat maka hampir dapat dipastikan dia tidak
pernah akan bertobat karena ketika dia sudah mencapai titik puas disitu juga
dia sudah mencapai titik parah dan amat sangat sulit jadinya untuk bertobat.
Memang diantara jeda hidupnya dia kadang-kadang jenuh atau bosan juga kemudian
berhenti beberapa saat tetapi setelah beberapa lama kemudian ia ingin
mengulangi hal itu lagi karena di dunia yang serba sementara dan tidak sempurna
ini sesuatu yang mengagumkan, terasa indah dan memukau, ketika didekati dan
dimiliki ternyata cuma sederhana dalam istilah Jawa, ”Tibae gor nggletek!”
Namun anehnya ketika seseorang jenuh berbuat dosa dan mulai bertekad untuk
bertobat, beberapa saat kemudian ia merasakan luapan menggebu-nggebu untuk
mengulangi lagi hal yang “Nggletek” itu.
Jadi
secara singkat dapat dikatakan jangan menunggu puas dulu baru bertobat karena
ketika anda sudah puas disitu juga anda mencapai titik kesulitan berat untuk
bertobat. Lebih jelasnya mencapai taraf sudah puas tetapi tidak bisa lepas
untuk bisa lepas memerlukan keajaiban, dan keajaiban itu adalah rahmat.
Saya ingin
mengumpamakan bahwa situasi pendosa yang saya utarakan tadi adalah ibaratnya
sebuah kertas kosong dimana di dalam kertas itu terdapat sebuah lingkaran
kosong, yang kita perlukan hanyalah memberi satu titik tepat di tengah
lingkaran itu. Yang saya maksudkan adalah bahwa pada suatu saat ketika kita
berjuang keras untuk bertobat, kita akan menjumpai suatu kehampaan, tidak ada
greget, niat atau tekad yang kuat atau kata-kata,” Ya mulai detik ini saya
bertobat.” Seakan-akan semuanya diserahkan pada diri kita, berubah atau tidak,
bertobat atau tidak. Seolah-olah kita memegang kontrol sepenuhnya akan situasi
diri kita itu. Dan memberi sebuah titik berarti bertekad bulat 100% penuh untuk
berubah, untuk bertobat. Santa Theresia dari Lisieux mengungkapkan hal yang
senada dalam buku ”Renungan Santa Theresia dari Kanak-Kanak Yesus”, yang
diterbitkan oleh Dioma:
”Yesus menghendaki cintakasih
kita, yang sekarang ku mintakan. Semuanya seakan-akan diserahkan kepada kita.
Ia tidak mau menerima apa-apa, kalau bukan kita yang memberikannya; yang
terkecilpun sangat berharga di mata Ilahi.”
“Andaikan Yesus mau menunjukkan
kepada semua jiwa karunia-Nya yang tak terkatakan, pasti tidak ada satu pun
yang menolaknya. Tetapi ia tidak menghendaki kita mencintai-Nya karena
pemberian-Nya. Dia sendirilah yang harus merupakan pahala kita.”
“Kadang-kadang kita tersergap
menginginkan hal-hal yang menarik karena kilaunya. Pada saat-saat yang demikian
itu marilah kita langsung menggolongkan diri dengan rendah hati pada rombongan
orang yang tidak sempurna dan melihat diri sebagai jiwa-jiwa kecil yang setiap
saat memerlukan dipapah oleh Allah yang mahabaik. Begitu kita sadar akan
ketidak mampuan kita, Ia mengulurkan tangan-Nya.”
“Apabila Yesus memanggil suatu
jiwa untuk membina, untuk menyelamatkan banyak jiwa lainnya, perlulah Ia
membuatnya menghadapi godaan dan percobaan hidup.”
Kemudian Santa Theresia dari
Avila dalam bukunya yang berjudul “Puri Batin”, mengungkapkan bahwa setan yang
amat licik di balik selubung sesuatu yang baik, melalui hal-hal kecil, lambat
laun menjauhkan jiwa dari Tuhan, dengan membisikkan bahwa hal itu tidak jahat,
mengaburkan budi, melemahkan kehendak, menumbuhkan cinta diri, perlahan-lahan setan menjauhkan jiwa dari
kehendak Allah serta berhasil membujuknya untuk melakukan kehendak setan. Tidak
ada klausura yang cukup ketat yang tidak dapat dimasuki setan. Tidak ada padang
gurun yang terlalu terpencil sehingga tidak didatanginya. Dan rupanya, Tuhan
membiarkan hal ini untuk menguji sikap jiwa yang dipanggil-Nya untuk menerangi
orang lain. Sebab, jika mereka nyata tidak layak, lebih baik hal ini terjadi
pada waktu permulaan dari pada kemudian merugikan banyak orang.
Sekarang
saya ingin mengajak anda untuk
merenungkan dua perikop teks kitab suci berikut ini:
Kebijaksanaan Tuhan
“Tetapi kamu
berkata: Tindakan Tuhan tidak tepat! Dengarlah dulu, hai kaum Israel, apakah
tindakan–Ku yang tidak tepat ataukah tindakanmu yang tidak tepat? Kalau orang
benar berbalik dari kebenarannya dan melakukan kecurangan sehingga ia mati, ia
harus mati karena kecurangan yang dilakukannya. Sebaliknya, kalau orang fasik
bertobat dari kefasikkan yang dilakukannya dan ia melakukan keadilan dan
kebenaran, ia akan menyelamatkan nyawanya. Ia insaf dan bertobat dari segala
durhaka yang dibuatnya, ia pasti hidup, ia tidak akan mati.” (Yeh 18:25-28).
Perumpamaan tentang dua orang anak
“Tetapi
apakah pendapatmu tentang ini: Seorang mempunyai dua anak laki-laki, Ia pergi
kepada anak yang sulung dan berkata: Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini
dalam kebun anggur. Jawab anak itu: Baik, bapa. Tetapi ia tidak pergi. Lalu
orang itu pergi kepada anak yang kedua dan berkata demikian juga. Dan anak itu
menjawab: Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi. Siapakah
diantara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?” Jawab mereka: ”Yang
terakhir.” Kata Yesus kepada mereka: ”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya
pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu
masuk ke dalam kerajaan Allah. Sebab Yohanes datang untuk menunjukkan jalan
kebenaran kepadamu, dan kamu tidak percaya kepadanya. Tetapi pemungut-pemungut
cukai dan perempuan-perempuan sundal percaya kepadanya. Dan meskipun kamu
melihatnya, tetapi kemudian kamu tidak menyesal dan kamu tidak juga percaya
kepadanya.” (Mat 21:28-32).
Kemudian
sekarang izinkanlah saya mempersembahkan kepada anda kata hati saya dahulu,
berikut ini:
Tekad
Tekad oh tekad dimanakah engkau?
Mengapa engkau menyembunyikan diri dariku?
Padahal sudah sekian lama,
aku telah berjuang mencari engkau.
Mengapa aku senang berkata, ”Ya” pada kebaikan,
namun tidak melakukannya.
Mengapa kemudian aku menyesal,
tetapi tetap melakukannya.
Seakan-akan tidak bisa lepas dari dosa.
Mengapa sekarang segala sesuatunya,
engkau serahkan padaku?
Mengapa hatiku hampa?
Tidak ada bisikkan atau keyakinan,
yang menjadi titik tolak untuk berkata:
“Ya mulai detik ini aku bertobat.”
Mungkin aku merasa rugi,
karena melihat kenikmatan begitu besar,
yang seharusnya aku rasakan, bila berbuat dosa.
Sebenarnya aku lebih senang bila engkau memberi aku niat,
tetapi justru engkau memberi kebebasan padaku.
Dan aku harus membuat titik dalam kehampaan ini.
Mampukah aku?
Sekarang aku tak mau memperhitungkan untung-rugi lagi.
Biarlah aku rugi.
Biarlah aku tidak menikmati semua kenikmatan itu lagi.
Aku mau bertobat meskipun diejek bodoh dan sial.
Sekarang aku mengerti pertobatan adalah:
merupakan suatu
pengorbanan.
Tuhan kalau boleh aku ingin mempersembahkan
segala kenikmatan yang
seharusnya kurasakan itu padamu.
Tuhan sekarang aku mengucapkan:
selamat tinggal pada diriku yang lama,
dan aku membuka lembaran baru,
hidup suci murni di hadapan-Mu.
Biarlah aku menolak segala keinginan
untuk memuaskan egoku.
Asalkan aku berkenan pada-Mu.
Asalkan aku benar-benar mencintai-Mu.
Karena kini aku tahu:
“Mencintai-Mu adalah segalanya bagiku.”
Alangkah
indahnya bila kita berhasil menghentikan semua perbuatan dosa kita dan
bertobat, sehingga pada waktu meninggal kita dapat mengatakan seperti yang
tertulis dalam 2 Tim 4:7 “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku
telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman”
Menurut
saya untuk dapat bertobat seseorang memerlukan rahmat Tuhan 100% dan usaha
dirinya sendiri 100% pula. Sekarang saya ingin bertanya pada anda: ”Sudahkah
anda berusaha 100%? Walaupun bertobat itu sulit, tetapi saya yakin bahwa kita
bisa asalkan kita mau 100%.
Setelah
kita membuat keputusan untuk bertobat selanjutnya tidaklah menjadi mudah. Itu
baru langkah awal. Setelah itu anda justru semakin digoda berupa
bisikan-bisikan atau ingatan-ingatan dan harapan-harapan tentang betapa
nikmatnya dosa, dan menawarkan pada kita kemungkinan-kemungkinan atau hal-hal
yang belum pernah dirasakan dan mengatakan pada kita: ”Sangat sayang bila
dilewatkan.” Namun kuatkanlah hati anda dan jadikanlah kata-kata berikut ini
menjadi milik anda:
“Aku telah mengalahkan dunia.”
“Aku telah mengalahkan ego.”
Apabila
anda kenali dalam-dalam sebenarnya berbuat dosa itu bukan hanya menghasilkan
rasa nikmat saja melainkan juga penderitaan fisik dan batin kita, yang dapat
mengakibatkan kita sakit jiwa atau kumat. Dan sesungguhnya penderitaannya jauh
lebih besar daripada rasa nikmat yang dihasilkannya, karena rasa nikmat itu
hanyalah bagaikan lintasan bayangan yang berkelebat, namun setelah itu hilang.
Bisa dikatakan kenikmatan itu hanyalah imajinasi sementara, sedangkan yang
menjadi fakta adalah penderitaannya dan akibatnya kita rasakan cukup lama
bahkan kekal.
Sekarang
saya ingin mengungkapkan bahwa bertobat itu bukan masalah perasaan tetapi
masalah perbuatan. Santa Theresia dari Lisieux dalam otobiografinya yang
berjudul “Aku percaya akan cinta kasih Allah”, mengungkapkan:
“Meskipun tidak mempunyai kegembiraan iman, namun aku
berusaha sekuat tenaga melaksanakannya dalam perbuatan.”
Semua teori yang saya ungkapkan
di atas itu tadi adalah kurang berguna karena yang lebih berguna adalah praktek
nyata, seperti yang diungkapakan oleh Santa Theresia dari Lisieux, dalam buku
“Renungan Santa Theresia dari Kanak-Kanak Yesus”, berikut ini:
“Aku tidak merendahkan gagasan-gagasan luhur yang mengisi
jiwa dan menyatukannya dengan Tuhan, tetapi sejak lama aku mengerti bahwa tidak
perlu menyandarkan diri padanya atau pun mengartikan kesempurnaan sebagai
menerima banyak cahaya. Gagasan-gagasan yang paling indah bukan apa-apa
tanpa pekerjaan.”
Berbuat
dosa tidak akan pernah bisa dipuaskan oleh sebab itu jangan menunggu puas
berbuat dosa dulu baru bertobat. Sekali lagi saya ingin mengungkapkan bahwa puas berbuat dosa itu tidak pernah akan
ada yang ada adalah puas pada saat itu, jadi puas sementara, setelah itu
kembali kelaparan dan kehausan. Seandainya anda benar-benar mengejar kepuasan
berbuat dosa dulu baru bertobat, dan seandainya apa yang disebut puas itu
memang benar-benar ada, berbahagialah anda karena anda bertobat, sebelum anda
merasakan kepuasan. Seperti halnya Tuhan Yesus berkata pada Tomas: ”Karena
engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak
melihat, namun percaya.” (Yoh 20:29).
Sebenarnya
banyak keuntungan yang dapat kita peroleh atau akan kita peroleh seandainya
kita bertobat, baik keuntungan secara materi maupun keuntungan secara rohani.
Sebaliknya banyak kerugian yang kita terima atau akan kita terima, apabila kita
tidak bertobat, karena cepat atau lambat kita akan terkena batunya. Oleh sebab
itu adalah sangat baik apabila kita bertobat dengan tujuan agar bisa hidup
mulia.
Saya
pernah dinasehati oleh Dokter Gitohoesodo bahwa bila saya ingin bertobat
dan meninggalkan trauma masa lalu, saya
harus belajar dari kisah Kitab suci tentang Sodom dan Gomora yang ada di Kej
19:1-29, dimana di ayat 17 Tuhan melalui seorang malaikat berkata kepada Lot,
isteri dan anaknya: “Larilah, selamatkanlah nyawamu; janganlah menoleh ke
belakang, dan janganlah berhenti di mana pun juga di lembah Yordan, larilah ke
pegunungan, supaya engkau jangan mati lenyap”. Tetapi pada ayat 26 diceritakan
bahwa isteri Lot yang berjalan mengikuti Lot, menoleh ke belakang, lalu menjadi
tiang garam. Tuhan Yesus dalam Luk 9:62,
juga mengungkapkan hal yang senada, yaitu: “Setiap orang yang siap untuk
membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah.” Dan
Santo Paulus dalam Flp 3:13-14 mengungkapkan: “Aku melupakan apa yang telah di
belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari
kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam
Kristus Yesus.” Artinya bila kita ingin bertobat kita harus melupakan dan
meninggalkan masa lalu kita, dan jangan mengingat-ingat lagi, melainkan terus
maju menyatukan diri kita dengan Tuhan. Kalau anda memerlukan figur yang dapat
dijadikan teladan untuk bertobat, belajarlah pada Santo Paulus, Santa Maria
Magdalena, Santo Agustinus. Anda dapat menemukannya di buku-buku riwayat
orang-orang Kudus.
Dan ingatlah bahwa roh jahat
juga mengenal Tuhan Yesus ( Mrk 1:24, Mrk 1:34, Mrk 5:7 ), roh jahat juga
menyembah Tuhan Yesus ( Mrk 5:6 ) dan roh jahat juga jatuh tersungkur dihadapan
Tuhan Yesus ( Mrk 3:11) tetapi yang jelas mereka tidak melakukan perintah-perintah-Nya.
Bukan orang yang menyebut Tuhan-Tuhan yang akan diselamatkan melainkan setiap
orang yang melakukan perintah-perintah-Nya (Mat 7:21), dengan demikian menjadi
serupa dengan Dia.
Sekarang saya ingin mengajak
anda untuk memahami bahwa inti dosa adalah menuruti ego atau menuruti bisikan
untuk memuaskan cinta diri, dan itu dapat mengambil banyak bentuk dalam hal-hal
kecil dan sederhana dan dapat berupa hal-hal yang kelihatannya positip seperti
berdoa, atau memberi sumbangan, misalnya berdoa sampai melantur, berdoa tanpa
mempedulikan pekerjaan, berdoa tanpa mempedulikan kesehatan sosial, berdoa agar
dianggap orang baik, memberi sumbangan
demi popularitas, memberi sumbangan pada orang yang cantik atau tampan saja dan
lain-lain. Hanya kita sendiri yang tahu persis apa motivasi sebenarnya dibalik
perbuatan baik kita; murni untuk Tuhan atau hanya sekedar memuaskan ego kita.
Bertobat berarti menyangkal keinginan cinta diri kita, dan itu menyakitkan
tetapi jauh di lubuk hati kita, kita akan merasa bahagia. Sebenarnya setiap
orang dapat bertobat dan menjadi Santo-Santa bila ia memang mau karena
kriterianya bukanlah hal yang muluk-muluk dan melambung di angkasa melainkan
bagaimana mengabdi Tuhan lewat hal-hal kecil dan sederhana dan bagaimana kita
menghayatinya. Saya pernah membaca tulisan di bagian sampul belakang buku:
”Novena dan Doa-doa suci”, yang berbunyi:
Mengapa ada
Santo dan Santa?
Karena mereka
gembira,
jika sulit untuk
bergembira;
mereka sabar,
jika sulit untuk
bersabar;
dan karena
mereka terus maju,
kalau mereka
ingin berhenti;
dan mereka diam,
jika mereka
ingin berbicara;
dan mereka
ramah,
jika mereka mau
marah.
Hanya itu.
Itu sangat
sederhana
dan akan tetap
demikian.
Ketika
membaca buku yang berjudul, “Percaya cinta percaya keajaiban”, karya
Gede Prama, Gede Prama mengatakan bahwa ia punya hobi melayat, karena ini
adalah kelas pelatihan kehidupan yang tidak bisa ditandingi oleh kelas
pelatihan lainnya. Kalau kelas pelatihan pada umumnya, hanya mengundang
refleksi sebagian orang, di depan orang meninggal hampir semua orang
berefleksi.
Pada
suatu hari oleh temannya, Gede Prama dikirimi sebuah cerita yang sangat
reflektif melalui E-mail, ia sangat bersyukur kepada Tuhan karena menerimanya.
Cerita itu adalah sebagai berikut:
Konon, di suatu waktu ada
seorang kaya raya yang memiliki empat istri. Di depan gerbang kematian, ia
diberi kesempatan untuk mengajak hanya salah satu dari empat isterinya.
Pertama-tama
ia panggil isterinya yang keempat. Maklum, ini yang paling muda, paling cantik,
paling menawan, paling disayang, sekaligus menguras paling banyak uang. Dengan
nada suara yang mengundang rasa kasihan, orang kaya yang sudah renta ini
bertanya: “Maukah engkau menemani aku sampai ke alam kematian?” Seperti
disambar petir rasanya, ketika orang tua ini mendengar jawaban ketus isterinya
yang keempat: “Ndak.”
Kecewa
dengan isterinya yang keempat, ia pun memanggil isteri yang ketiga. Bisa
dimaklumi, karena ini adalah isteri ranking kedua dalam banyak hal.
Belajar dari kegagalan sebelumnya, ia pun bertanya sambil memeluk mesra isteri
ketiga: “Sudikah kamu menjadi pendampingku memasuki gerbang kematian?”, Yang
ini jawabannya lebih sopan: “Maafkan kanda, saya hanya bisa mengantarmu sampai
di sini.”
Menangis
mengakhiri pengalaman kedua ini, ia pun tidak putus asa. Dipanggilah isteri
yang kedua, tentu saja dengan pertanyaan dan permintaan yang sama. Isteri kedua
ini menjawab lembut: “Saya akan antar kanda, tapi hanya sampai di liang lahat.”
Untuk ketiga kalinya, orang kaya yang menghabiskan seluruh hidup dan
keringatnya untuk mengumpulkan kekayaan demi anak dan isteri ini, kecewa berat
lagi.
Sehingga,
yang tersisa hanya isteri pertama yang terkulai kurus, layu, lemah tanpa
tenaga, dan kecantikannya sudah lama sekali memudar. Dengan pasrah orang kaya
tadi bertanya dan meminta hal yang sama. Dan yang mengejutkan, kendati isteri
pertama ini jarang diperhatikan, sering disakiti, dan paling sedikit mendapat
uang, ia menganggukkan kepalanya tanda bersedia menemani sang suami sampai di
dunia mana pun.
Gede
Prama menjelaskan, bahwa ia tidak tahu apakah cerita ini riil atau hanya
karangan manusia semata. Yang jelas, ia menghadirkan refleksi yang sangat
dalam. Isteri-isteri ini perilakunya sama serupa dengan empat isteri kehidupan.
Isteri keempat adalah atribut-atribut yang kita perjuangkan, pertahankan dan
kita manjakan dengan banyak sekali tenaga. Ia bisa berupa jabatan, kekayaan
materi, dan segala bentuk pembungkus badan kasar. Dan ketika kita mati,
semuanya menjawab tidak ikut secara ketus kepada kita.
Isteri
ketiga adalah badan kasar kita. Sebentuk badan yang juga dimanjakan banyak
orang. Diberi makan yang enak. Diajak ke
tempat-tempat indah. Hampir semua lubangnya kita puaskan semampunya. Dan ia
hanya bisa mengantar kita sampai di tempat kita dijemput sang maut.
Isteri
kedua adalah teman dan keluarga kita. Sebaik-baiknya mereka, hanya bisa
menangis mengantar kita sampai di liang lahat. Isteri pertama yang sangat
kurang dari perhatian kita, dan mendapat alokasi dana dan tenaga paling
sedikit, ia bernama sang jiwa. Dialah satu-satunya “isteri” yang menemani kita
selamanya.
Gede
Prama menitipkan pertanyaan buat kita: “Seberapa banyakkah dana dan tenaga yang
telah kita alokasikan khusus buat sang jiwa?
Pengalaman
dan pengamatannya bahkan menunjukan dalam ketidaksadaran kolektif, kita sering
malah menyiksa dan membuat sang jiwa menderita. Semua itu dilakukan, untuk
memuaskan “isteri-isteri” yang lain. Sebut saja orang-orang yang berebut
kekuasaan dengan segala cara. Atau mereka yang memuaskan pancaindranya tanpa
rem yang memadai.
Hebatnya,
kendati ia disiksa dan dibuat menderita, sang jiwa akan senantiasa ikut bersama
kita. Dalam hidup maupun mati. Dalam suka dan duka. Di tengah pujian maupun
makian, entah karena lupa, entah karena khilaf, secara kolektif kita sudah lama
tidak peka akan getaran-getaran sang jiwa.
Jiwa
hanya bisa mengangguk. Anda bebas memilih bagaimana anda akan “tidur” bersama
isteri pertama. Hanya andalah yang bisa memutuskan, dengan isteri mana anda
akan tidur.
Pada kesempatan yang lain Gede
prama dalam buku yang sama meminjam kerangka seorang pemikir atraktif bernama
Eknath Easwaran dalam buku Dialogue With Death: A Journey Through
Consciousnes, tubuh kita sebenarnya mirif dengan kereta yang ditarik lima
kuda. Kuda-kuda itu bernama pancaindra (mata, telinga, hidung, mulut dan
kulit). Kelimanya lari berderap setiap hari. Sayangnya, kalau kereta sebenarnya
dikendalikan oleh kusir, tubuh banyak orang dibiarkan saja ditarik ke sana-ke
mari oleh kelima kuda ini. Di sinilah awal dan asal muasal interaksi antara
badan kasar dan badan halus yang sulit dikendalikan.
Bagaimana
bisa mengendalikan kereta (baca: badan halus dan kasar), kalau keretanya lari
cepat dan kencang tanpa kusir? Nah, di zaman yang sudah demikian kapitalis dan
borjuis ini, kelima kuda tadi lari demikian kencangnya. Bahkan, sering lari ke
arah yang berbeda-beda. Kalau ini membawa risiko dalam bentuk keretanya rusak
parah, tentu mudah sekali bisa dimengerti, terangnya.
Badan
yang mengidap banyak penyakit, sakit kejiwaan yang melanda banyak orang,
larinya orang ke narkoba, penyakit sosial (korupsi, perampokan, perceraian, dan
lain-lain). Yang tidak kunjung sembuh, hanyalah sebagian bukti sahih yang
menunjukkan, betapa kereta-kereta kita sudah dibuat demikian berantakan oleh
lima kuda yang lari liar ke arah yang berbeda, terangnya lagi.
Easwaran
memang menyebut mind, emosi dan hasrat sebagai tali kendali
kelima kuda tadi. Kitalah sang kusir yang diharapkan menjadi pengendali.
Sayang, tidak sedikit orang yang misi dan tugasnya sebagai kusir, tetapi hanya
pasrah di tengah kereta, kendati ditarik kuda liar ke berbagai arah.
Kita
harus mengendalikan pancaindra kita. Sekali pancaindra terkendali, kita bisa
menghidupi kedua badan (badan halus dan badan kasar) dengan gizi yang cukup,
tanpa perlu berlebihan, jelasnya.
Ia
kembali menjelaskan dengan ilustrasi bahwa tidak semua orang dilengkapi
helikopter untuk pergi ke puncak gunung. Sebagian besar orang memang tidak
dianugerahi helikopter yang bisa membuat perjalanan ke puncak gunung menjadi
nikmat dan mudah. Namun, dengan kemampuan dan kesediaan menjadi kusir dari
kedua badan ini (badan kasar dan badan halus), kita sedang memperkuat otot,
mempertinggi keterampilan memanjat tebing, serta mengumpulkan tali-tali yang
bisa membuat kita sampai ke puncak gunung ( Dalam konteks ini adalah Bertobat
dan hidup suci murni di hadapan Tuhan).
Semua itu
kalau saya jelaskan dalam bahasa saya adalah bahwa sebenarnya selama kita hidup
di dunia ini, kita ditipu, dikerjai, dan berusaha dijerumuskan ke lubang dosa
oleh keenam indra kita, yaitu: mata, telinga, hidung, mulut, kulit dan perasaan, karena indra keenam
adalah perasaan), oleh sebab itu kita sebaiknya tidak menurutinya, apalagi
memuaskannya secara membabi buta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar