SURAT
BUAT SUSTER NARNI YANG KEDUA
Aku haus kasih, aku haus cinta, aku butuh seseorang yang
ku cintaipun mencintai aku juga. Aku bosan ditolak, diejek, aku ingin dicintai.
Sahabat cintailah aku, hilangkan rasiomu, perasaanmu, dan kehendakmu. Bila
mencintaiku berarti bunuh diri, mari datanglah padaku dan kita jalani hari-hari
sengsara bersama-sama. Dengan harapan jiwa kita bersukacita dan bahagia meski
kita menderita.
Hiduplah bersamaku dalam apa adanya, dalam kemiskinan dan
dalam sengsara, tanpa pakaian bagus, handphone, makanan enak dan tanpa uang
cukup. Sambil kita belajar gembira dalam sengsara.
Aku gila dan kaupun gila, itu baru cinta sejati, karena
cinta sejati itu menurutku adalah dua orang gila yang bertemu. Tapi aku yakin
bahwa engkau tak mungkin mau, karena kau tak ingin bunuh diri dan tak mau mengecewakan
orang tuamu serta saudara-saudaramu, terlebih dirimu sendiri. Kau ingin hidup
mulia dan bahagia, dan aku berpikir engkau memang pantas mendapatkannya.
Suster, ketika menulis surat ini aku baru saja
menyelesaikan membaca buku bagus berjudul: “Derita, kutuk atau rahmat”,
karangan Harold S.Kushner, pada halaman 171, ada kalimat yang tidak sepenuhnya
aku pahami namun aku setuju, yaitu:
“Cinta
bukanlah kekaguman pada kesempurnaan, melainkan penerimaan atas seorang pribadi
yang tidak sempurna, dengan segala ketidaksempurnaannya, sebab dengan mencintai
dan menerimanya kita menjadi disempurnakan dan diperkuat”.
Eh Suster, ngomong-ngomong, tulis surat dong buat aku,
apa saja tentang dirimu, teman-temanmu, pekerjaanmu, rumah sakit, gereja, atau
lainnya. Dah dulu ya Sus, lain waktu kita sambung lagi. Salam hangat dan sampai
jumpa. Dariku: Yohanes Winoto.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar