ANTARA
KAU DAN AKU
Dulu aku berjuang untuk memperoleh cintamu. Setiap hari
engkau aku puja, engkau bagaikan bidadari tercantik yang pernah ku temui. Tak
jemu-jemu aku memandangmu, tak bosan-bosan aku ngobrol denganmu dan amat
bahagia bila duduk di sampingmu.
Setelah berjuang keras untuk memperoleh cintamu, akhirnya
engkau jatuh hati juga padaku. Aku merasakan hidupku bersinar dengan gemilang:
“Impianku menjadi nyata!”, itulah seruan gembira hatiku. Ku beri apapun yang
indah buatmu seperti puisi-puisi dan lukisan-lukisan hasil buatan tanganku, ku
belikan engkau handphone yang sangat engkau impikan. Setiap hari engkau hadir
disetiap langkah hidupku dan menghiasi imajinasiku. Engkaupun selalu ceria
dihadapanku dan selalu terlihat tersenyum gembira, aku tahu engkau bahagia
bersamaku.
Namun setelah berjalan beberapa lama aku merasa engkau
tidak nampak cantik lagi, tidak nampak pintar lagi, tidak nampak hebat lagi.
Entah bagaimana kekagumanku padamu luntur sedikit demi sedikit. Bahkan cintaku
menjadi hampa. Aku bertannya pada diriku sendiri, masihkah aku tetap akan
melanjutkan hubunganku denganmu atau tidak.
Tapi engkau tetap mencintaiku, engkau tetap memperlakukan
aku seperti pangeranmu, engkau bahkan semakin menunjukkan rasa cinta yang tak
berhingga, engkau selalu perhatian dan sangat pengertian padaku. Bila bertemu
denganku engkau bercerita banyak hal dengan spontan dan ceria.
Walaupun cintaku padamu telah luntur namun aku tak pernah
menyakitimu, aku tetap berbuat yang terbaik buatmu. Namun kemudian
perlahan-lahan aku mulai tidak setia padamu, aku mulai melirik kesana-kemari,
memandang bidadari-bidadari lain yang nampak lebih mengagumkan darimu seperti
Arik, Ratna, Suwati, Silvie, Ayu, Ida, Elly, Ika, Reka, Emi dan lain-lain.
Aku bertindak begitu rapi sehingga engkau tidak tahu
kalau aku tidak setia padamu. Dan selama itu engkau tetap setia padaku. Dalam
tidak setia itu aku menjelajah hati-demi hati dan memperlakukan mereka seperti
dewi-dewi pujaanku.
Suatu hari aku berjalan-jalan di Matos dengan Ratna dan
berpapasan denganmu. Ketika itu engkau bersama adikmu Aditya. Aku sangat
terkejut, tapi aku heran karena engkau nampak tidak marah padaku, bahkan engkau
percaya saja ketika aku jelaskan padamu bahwa Ratna adalah teman akrabku. Lalu
justru Ratna yang nampak marah padaku. Melihat situasi pertemuan yang mendadak
itu aku jadi bingung sendiri, kemudian aku mengambil keputusan kita berempat
jalan-jalan bareng di mall dan bahkan nonton bersama-sama di bioskop 21 Matos.
Ketika di dalam bioskop aku jadi bingung harus duduk di samping siapa? Akhirnya
aku lebih memilih duduk di sampingmu, sedang Ratna di sebelah Aditya adikmu.
Aku tahu Ratna marah padaku. Alasanku lebih memilih duduk di sampingmu adalah
karena tiba-tiba aku merasa engkau kembali mengisi hatiku. Aku dihantui rasa
takut kehilangan dirimu. Selama film berlangsung, aku bahkan tidak menyimak
sedikitpun. Aku tenggelam dalam pikiranku sendiri memikirkan betapa tulusnya
cintamu dan betapa besarnya kepercayaanmu padaku, bahkan engkau tidak curiga
sedikitpun.
Akhirnya setelah kejadian itu Ratna memutuskan hubungan
cintanya padaku, karena ia dengan perasaan wanitanya tahu kalau aku lebih
memilih dirimu daripada dia. Ia merasa sangat direndahkan oleh sikapku yang
ternyata telah punya kekasih yaitu kamu. Namun aku sangat menghargai sikapnya
yang tidak membuat ribut di hadapanmu.
Namun aku belum belajar dari kesalahan. Kejadian yang sama berulang kembali, ketika suatu hari
aku kencan dengan Emi, waktu itu aku sedang duduk berdua mesra dengan Emi di
alun-alun Malang, di bawah pohon dekat air mancur dan tiba-tiba engkau muncul
dihadapanku bersama sahabatmu Elis. Jelas-jelas engkau tahu aku sedang
menghianati cintamu, namun engkau tetap nampak biasa saja, tidak menunjukkan
kemarahan sedikitpun dihadapanku. Dan engkau berlalu begitu saja sambil
melambaikan tanganmu. Sejak itu aku mengambil keputusan untuk memutuskan hubungan
cintaku dengan Emi karena aku kagum pada caramu bersikap padaku.
Namun setelah melihat aku
berdua dengan Emi di alun-alun itu ternyata kemudian sesampai di rumah engkau
menangis tersedu-sedu dan kemudian sakit demam. Hal itu baru aku ketahui ketika
aku kembali apel ke rumahmu dan kata ayahmu engkau di opname di rumah sakit
Saiful Anwar.
Ketika aku masuk di
ruangan di mana engkau di rawat engkau sedang tidur. Aku memutuskan untuk diam
saja di sampingmu, sambil memandangi wajahmu. Ingin rasanya aku memelukmu
karena rasa rindu dan penyesalanku. Tak kuasa airmataku mengalir, namun aku
cepat menghapusnya. Setelah itu engkau bangun dan begitu tahu aku ada di
sampingmu engkau tersenyum dan matamu bersinar. Aku kagum pada sinar itu:
“Sinar sebuah harapan”.
Engkau masih terlihat
lemah namun engkau menyapaku dengan pelan: “Hai Mas makasih ya mau mengunjungi
aku”. Lalu aku berikan padamu bunga mawar yang aku beli khusus untukmu, engkau
lalu menciumnya dan berkata: “Makasih....”. Aku heran engkau tidak mengungkit-ungkit
kejadian di alun-alun itu. Lalu aku kembali terharu dan hanya bisa diam.
Kemudian aku membisikkan kalimat pendek: “Maafkan.....aku.... Valentin...”,
bisikku gugup, dan engkau hanya mengangguk. Suasana menjadi hening, kau dan aku
hanya diam sambil mengikuti kata hati masing-masing. Dalam hatiku terbersit
serangkai kata:
“Valentin-Valentin maafkanlah aku, sekali lagi maafkanlah
aku karena ketidaksetiaanku padamu. Aku berjanji tidak akan lagi menghianati
cintamu. Kau berharga bagiku, kini aku merasa takut kehilanganmu. Kau kembali
mengisi hatiku dan menumbuhkan benih-benih cinta yang pudar, bagaikan musim
semi setelah musim salju”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar